Sunwoo tak mendengar balasan apapun dari seberang sana, sambungan tiba-tiba terputus membuat laki-laki Kim tersebut mengernyit kebingungan.
"Kenapa, Nu?"
Sunwoo menggeleng.
Dia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku dan menilik Eric serta Mirae yang duduk tepat di hadapannya. Eric sama sekali tak merasa bersalah, dengan tenang dia memakan donat yang mereka pesan. Hwall sendiri sudah kehilangan kemampuan berpikirnya yang dia bangga-banggakan, dirinya tak bisa membaca situasi sama sekali. Lain halnya dengan Mirae, gadis itu terlihat sangat tidak menikmati acara makan bersama ini. Mungkin diam-diam Mirae menyesal karena sudah refleks memanggil Sunwoo.
"Lo nggak merasa berdosa gitu, Ric?"
"Dosa gue udah kebanyakan, jadi udah nggak berasa."
Sebenarnya Sunwoo ingin sekali menarik laki-laki Sohn itu ke dalam toilet dan memukulinya habis-habisan jika nanti dia ikhlas-ikhlas saja dipukul balik oleh Hwall. Tapi tidak, terima kasih. Pukulan Hwall lebih sakit daripada pukulan preman pasar.
Kesal karena emosinya tak bisa tersalurkan. Sunwoo lantas menggenggam tangan Hwall dan mengajaknya untuk pergi dari sana. Hwall jelas protes, donatnya belum habis dan dia sudah ditarik untuk pergi.
"Duduk dulu, Nu. Buru-buru amat," kata Eric.
"Ayo kita naik wahana yang kamu mau tadi," Sunwoo menukas cepat.
Eric, Mirae, bahkan Hwall sendiri ternganga dibuat. Apa tadi?
Hwall lantas buru-buru bertanya demi menyembunyikan rona merah yang mulai merambat naik ke pipi. "Kamu? Lo ngomong sama gue?"
Sunwoo mengangguk, kembali menarik lengan Hwall agar cepat-cepat menurut dan tak lagi banyak bertanya.
"Jadi Kak Sunwoo ninggalin aku buat dia?"
World War III coming soon.
.
Changmin menerka-nerka bagaimana keadaan dorm malam ini. Kakinya menendang-nendang selimut, berguling ke kanan dan ke kiri secara berulang-ulang. Dia bosan, ingin pergi keluar tapi Haknyeon melarang, entah apa alasannya. Pemuda Ji tersebut duduk di atas kasur, menatap punggung Haknyeon yang tengah sibuk merakit sesuatu. Changmin tak ingin ikut campur, berniat untuk ikut campur saja tidak.
Netranya dilempar untuk menatap jendela kamar yang berhadapan langsung dengan pantai. Memandangi pemandangan luar biasa tersebut lewat kaca besar yang memisahkan mereka. Changmin tak tahu pasti bagaimana dan seperti apa Jeju karena meskipun dia lahir di Korea tapi dia tidak tumbuh dan besar di negara dengan kecepatan internet nomor satu di dunia itu. Jangankan mengetahui apa dan bagaimana pulau Jeju itu, mengetahui seluk-beluk kota Seoul saja Changmin rasa dia dapat mendapatkan remidi.
Tengah asik melamun sambil memperhatikan ombak yang berlarian di luar sana, tiba-tiba ponsel milik pemuda Ji tersebut berdering nyaring, berhasil membuat Changmin melompat saking terkejutnya. Haknyeon yang tengah fokus pun berdecakㅡmerasa terganggu dan meminta secara tidak langsung pada pemuda kelahiran 1998 itu agar menghentikan bunyi nyaring yang mengakibatkan denging di telinga.
"Oh, iya Kev, kenapa?"
"Lo sama Haknyeon dimana? Buang ponsel di Antartika?"
"Di Jeju."
"Lo ngapain di Jeju, bangsattttt? Liburan?"
"Kurang ajar. Tanyain sana sama Haknyeon ngapain dia nyeret gue sampe Jeju."
"Cepet balik, dorm lagi kacau banget nih."
"Hah, ada apaan emangnya?"
"Kalo mau tau, pulang."
Sebelum Changmin melemparkan sumpah serapah dari mulut sucinya, Kevin lebih dulu mematikan sambungan telepon mereka. Dahinya mengernyit sebal, berusaha menahan umpatan yang sudah siap meluncur dari lidah.
Changmin menatap Haknyeon diam-diam. Laki-laki Ju itu tidak bereaksi sama sekali, seolah-olah tidak mendengar apapun yang tadi Changmin dan Kevin obrolkan. Takut-takut, Changmin memberanikan diri bersuara, "Nyeon?"
"Gue denger, Kak. Tapi gaada jadwal flight jam segini, adanya nanti, em... sekitar jam dua dini hari?" Haknyeon sendiri sedikit tidak yakin dengan apa yang ia ucapkan.
Refleks, Changmin melempar tatapnya pada jam yang menggantung tepat di atas kepala Haknyeon. Masih pukul sembilan malam, dan Changmin jelas bukan orang dengan tingkat kesabaran super dewa seperti Bae Jacob.
"Gabisa dipercepat gitu?"
"Gue udah minta tolong sama Chenle."
"Hah, ngapain?"
"Minjem helikopternya."
"What theㅡ"
"Dan dia bilang bisa. Ayo siap-siap, kita check out sekarang terus ke rooftop."
Haknyeon buru-buru merapihkan peralatannya yang berserakan di atas meja, memasukkannya asal ke dalam tas yang entah darimana dia dapatkan. Tiba-tiba saja tas tersebut sudah tergeletak manis di kamar ini saat mereka berdua baru sampai.
"Ngapain ke rooftop? Emangnya udah diijinin sama pemilik hotel?"
Pergerakan Ju Haknyeon mendadak terhenti. Pemuda berwajah manis tersebut berbalik dan melempar senyum remeh ke arah Ji Changmin.
"Kak, lo lupa? Gue pemilik Korea Selatan, Jeju bukan apa-apanya buat gue."
Well, benar juga. Apa sih yang tidak bisa dilakukan oleh seorang Ju Haknyeon? Koneksi yang menyebar rata hampir di seluruh belahan dunia, ribuan orang kepercayaan, serta anak buah yang siap mati untuk membereskan kekacauan yang dibuat oleh bos muda mereka. Jelas hal tersebut bukanlah hal yang mudah untuk disingkirkan dari sisi seorang Ju Haknyeon tanpa ada nyawa yang mati sia-sia karenanya. Haknyeon mungkin terlihat manis di depan fans, tapi salah seorang fans tidak ada yang tahu (bahkan mungkin di mimpi terburuk fans tidak pernah terpikir bahwa Haknyeon bisa sehebat itu) bahwa Ju Haknyeon lebih berbahaya dari apapun yang ada di muka bumi.
"Kak, ayo. Kok ngelamun." Haknyeon menyentak. Membuat kesadaran Changmin tertarik kembali ke dunia nyata. Pemuda itu lekas buru-buru turun dari kasur dan mengikuti Haknyeon untuk keluar dari sana.
"Terus ponsel kamu gimana, Nyeon?"
"Gue bisa minta orangnya Chenle buat ngeberesin semuanya. Yang terpenting kita harus ke Seoul dulu secepat mungkin."
Changmin mengangguk paham. Tak kembali mencari topik pembicaraan karena tak tahu apalagi yang mau dibahas.
"Lo gamau nanya sesuatu gitu, Kak?"
Changmin menoleh. "Hah, nanyain apaan?"
"Kenapa gue kekeuh pulang sekarang juga misalnya?"
Si Ji tertawa kecil, melempar tawa manisnya ke udara. "Kakak sih yakin kalau kamu udah tau sesuatu. Ju Haknyeon, Kakak mungkin lupa kalau kamu yang memegang kendali Korea Selatan, tapi Kakak nggak mungkin lupa kalo kamu bukan orang biasa."
Kali ini Haknyeon lah yang tertawa. Bukan tawa kecil nan anggun seperti milik pemuda Ji, tapi tawa yang benar-benar lebar hingga menarik atensi beberapa orang yang lewat.
"Sohn Eric bisa mati kalo kita nggak pulang lebih awal."
"Seharusnya bocah itu emang mati, kan?"
oo
vomentnya dong, hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daily Boyz
أدب الهواةTadinya mau bikin The Boyz jadi mafia ala-ala gitu, tapi kayaknya cinta segibanyak lebih menarik ya? ⚠Trash word ⚠Informal ⚠Just FF!! status: on-going [slow]