Dari kejauhan Al masih duduk di bangku taman, di antara Rafa dan Gibran. Al menunggu kabar dari dokter Anita, dosen sekaligus bendahara Program Studi untuk acara Pelatihan Kepemimpinan yang rutin dilaksanakan setahun sekali. Matanya tiba-tiba mengekori sosok mahasiswi yang sejak awal masuk gerbang kampus, cukup menyita perhatiannya.
Bukan karena dia cantik dan menarik. Sama sekali bukan. Tapi ketika Al sedang meneguk sebotol soft drink, ia melihat gadis berhijab itu turun dari motor dan memeluk seorang perempuan berambut cepak. Nggak... Nggak mungkin seperti apa yang ia pikirkan.
Rasanya dia belum pernah bertemu gadis itu. Maksudnya aneh aja melihat mahasiswi baru, masuk gerbang sampai ke dalam kampus, masih memakai masker. Unless mungkin wajahnya terserang jerawat hebat.
Ah, buat apa Al mikirin perempuan itu. Dia hanya mahasiswi baru yang mungkin luput dari perhatiannya. Tanpa sadar, Al masih menatap dari kejauhan sampai gadis itu menghilang di depan ruang rapat dosen.
Al melanjutkan pembicaraannya dengan Gibran dan Rafa. Mengenai rencana pelatihan kepemimpinan yang akan mereka buat.
"Jadi, ini hanya wajib untuk mahasiswa baru?"
Rafa mencorat-coret Note.
Al menggeleng.
"Hanya eksklusif untuk anggota Pulse. Gue pengen anak hasil didikan gue, bisa jadi contoh di kampus. Kelak jadi dokter dengan karakter yang baik. Penuh dedikasi dan tanggungjawab. Meski mungkin gue nggak akan ada lagi disini."
Gibran menatap Al setengah tidak percaya.
"Serius Al, hari gini Lu masih ungkit hal itu lagi. Tinggal satu tahun kita lulus Al. Lu akan sia-siain waktu empat tahun kita kuliah."
"Gue sebenarnya nggak mau kuliah cuma buat cari gelar dan buat nyenengin hati Orangtua. Tapi gue nggak pernah seyakin ini, dengan keputusan gue. Makanya gue maksain proyek ini kudu jalan. Setelah Leadership Training tahun ini selesai, gue bisa fokus sama mimpi dan cita-cita gue."
Gibran dan Rafa saling berpandangan. Mereka sudah menjadi sahabat Al sejak awal masuk kampus. Mereka sudah terlalu hafal dengan sifat keras kepala Al. Kalau sudah punya keinginan, tidak ada yang bisa merubah pendiriannya.
Sejak SMA, jiwa kepemimpinan Al memang telah tumbuh. Ia sering diajak menemani Ayahnya mengikuti pertemuan bisnis. Dari hasil uang bulanannya, dia menabung dan lama kelamaan bisa mendirikan perusahaan konsultan yang ia dirikan sendiri, saat tingkat dua kuliah.
Jika benar Al memutuskan untuk keluar kuliah, berarti pendidikan terakhir yang ia tempuh sebatas Sarjana Kedokteran. Ia akan kehilangan gelar dokter yang disematkan sebagai profesi luhur yang telah ia lalui, lebih dari separuh jalan pendidikannya di fakultas kedokteran.
"Gue hanya bisa berdo'a, semoga ada seseorang yang bisa mengubah jalan pikiran Lu, Al. Untuk acara kita, semua sudah oke. Kita rencanakan dua bulan lagi. Sabtu-Ahad di kawasan Curug Cigamea, Bogor. Ali dan Toriq sudah survey dan selesai perijinan. Tinggal Lu sama Fany yang fiksasi waktu bertemu dokter Anita untuk pendanaan dari bagian kemahasiswaan."
Sebenarnya Al malas berduaan sama Fany. Sudah bukan rahasia lagi, kalau Fany adalah teman seangkatan Al yang seharusnya sudah pensiun jadi bendahara. Fany sudah sejak lama menyukai Al dan dengan agresif mendekatinya.
Padahal Al beberapa kali menolaknya. Sudah dua tahun lalu, bendahara kepanitiaan regenerasi ke adik tingkat tiga dan tingkat dua. Entah kenapa untuk acara yang sekarang, dokter Anita menunjuk Fany sebagai bendahara.
Ponsel milik Al berdering.
"Assalaamu'alaikum, selamat pagi Kak. Saya Faris, ketua tingkat mahasiswa baru. Ijin menyampaikan, untuk anggota baru Pulse yang baru masuk hari ini, namanya Zhafira Zahidah. Apakah bisa ikut pertemuan hari ini Kak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ms Careless and Mr Perfect (Tamat Di KBM dan Karyakarsa)
Romance*Salman Alhamasah* Kakak senior tingkat empat yang paling diminati oleh MABA dan MALA (mahasiswa lama). Galak tapi ganteng. Pintar tapi perfeksionis. Menginginkan setiap orang sesuai standar dirinya. Sayang, ada satu adik kelas yang tidak masuk sela...