TUJUH

6.8K 703 15
                                    

"Aku telah melanggar aturanku sendiri, memanggilnya kembali setelah memintanya pergi.

Apa yang sesungguhnya terjadi, aku kini bertanya pada hati."

(Al)

***

Al Pov

Aku terbangun dari sofa di lantai dua. Jam berapa ini. Uugh... Sudah jam lima pagi. Hari ini hari Jum'at. Hari terakhir di akhir pekan dimana deadline website sudah harus ketok palu. Setiap pekan ketiga kami akan launching.

Punggungku terasa kaku dan sakit. Mungkin karena aku tertidur semalam di sekertariat Pulse, hanya beralas sofa yang tidak terlalu empuk. Aku sibuk mengedit dan juga mendengar curhat Kahfi. Ada transaksi palsu dan perusahaan kami baru saja kena tipu. Salah satu oknum yang mengaku dari rumah sakit ternama mengirimkan proposal untuk meminta training karyawan baru.

Biasanya Kahfi juga tidak pernah seteledor ini. Dia sudah membeli banyak kit untuk training dan juga menyewa tempat di hotel Andalusia. Ternyata pengirim proposal itu hanya mencatut nama dan kami sudah telanjur keluar banyak dana. Bersyukur, pemilik hotel, Om Barra, mau mengembalikan kembali uang down payment sewa tempat. Bahkan beliau mengembalikan tanpa potongan. Om Barra benar-benar pengusaha yang baik, apalagi terhadap pengusaha anak bawang seperti aku.

Tapi entah kenapa, aku tidak pernah bisa marah sama Kahfi. Mungkin karena sejak kecil kami sudah akrab. Kahfi hanya berbeda dua tahun lebih muda dariku. Sejak kecil Kahfi sering main ke rumah, terutama bila kedua orangtua kami mendadak double date. Entah apa yang ada di pikiran mereka, kebiasaan romantis pacaran yang tetap dipelihara hingga tua. Sementara anak-anaknya ditinggal berdua di rumah.

Aku dan Kahfi sering menghabiskan waktu dengan olahraga bersama, sampai kami SMA. Pagi hari kami bisa mengayuh sepeda menjelajah perkampungan bahkan pernah menembus rute puncak Bogor. Tentu yang terakhir ini, aku pernah nekad membawa mobil, hingga kena omel Ayah. Sore hari, kami bermain basket atau panahan di halaman belakang rumahku yang luas. Kahfi sudah seperti adikku sendiri, karena Bunda baru melahirkan Sultan dua tahun kemudian. Meski usianya lebih muda dariku, ku akui cara berpikir Kahfi kadang lebih dewasa dari lelaki seumurannya.

Ia semalam sempat memberiku masukan untuk memikirkan kembali tentang keputusanku yang akan berhenti kuliah tahun ini.

"Sholat Istikhoroh dulu Kak. Kalau memang yang terbaik Kakak lanjut kuliah, Insya Allah akan diberi kemantapan. Tinggal selangkah lagi Kak. Satu setengah tahun tidak lama. Biar perusahaan ini Kahfi yang pegang. Kahfi minta maaf, kasus yang terakhir ini tetap akan Kahfi proses ke ranah hukum. Ke depannya Kahfi janji akan lebih hati-hati dan tidak tergesa menerima kerjasama dengan pihak lain."

Aku memutuskan untuk mandi, sambil memikirkan nasihat Kahfi yang masih memenuhi kepalaku. Di lantai dua, aku sengaja menyekat satu area untuk ruang pribadi. Di dalamnya ada kamar mandi dan juga lemari untuk menyimpan pakaian ganti. Hanya saja memang sengaja aku tidak membeli tempat tidur. Aku tetap ingin pulang dan menikmati kamar tidur di rumah sendiri.

Selesai mandi dan sholat Subuh yang sudah kesiangan, aku masih duduk di atas. Memikirkan ulang keputusanku. Belum pernah aku seragu ini. Aku tidak mengerti, mengapa seolah ada yang menahanku untuk pergi dari tempat ini. Aku tahu Ayah dan Bunda mungkin akan kecewa bila aku tetap hengkang dari kampus dan memilih meneruskan bisnis yang kumulai sendiri.

Aku ingin segera bisa mandiri dan tidak tergantung secara finansial, pada Ayah. Puji syukur, sudah dua tahun, aku bisa membayar sendiri biaya kuliah. Aku juga memenuhi gaji karyawan dan besar harapan bisa melebarkan sayap bisnis agar omset bisa melejit. Dengan demikian kesejahteraan karyawanku juga bisa meningkat.

Ms Careless and Mr Perfect (Tamat Di KBM dan Karyakarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang