DUA PULUH

5.2K 469 43
                                    

"Ketika bayanganmu menghilang,
ku terus berdo'a agar bisa
menemukan jejakmu kembali,

dapatkah kau mengikutiku,
Jika kuberjanji tidak akan
meninggalkanmu lagi."

***

Kamar Operasi. Pukul 19.45

Al mengambil baju operasi berwarna hijau dan mengganti pakaian di ruang ganti khusus pria. Ia kemudian keluar dalam keadaan telah memakai masker, tutup kepala dan alas kaki khusus. Al tidak terlalu terlambat datang, karena Gibran menginfokan pasien baru mau didorong dari UGD masuk ke kamar operasi.

"Al, gue tunggu di loket."

Lelaki itu melepas jam tangan dan mencuci tangan di air mengalir dengan sabun antiseptik. Ia memastikan kembali di depan kaca, penampilannya sudah lengkap untuk masuk kamar operasi.

Langkah kaki Al terasa berat seiring dengan pikirannya yang tiba-tiba teringat kejadian tadi pagi. Saat ia bertemu Rafa di UGD dengan lengan kiri sahabatnya itu terbalut perban. Ketika Al hendak membangunkan Mama Zafira untuk menjemput pulang, Rafa mencegahnya.

"Tante Fara masih kelelahan, Al. Biarkan dia istirahat sebentar disini."

Rafa memegang pundaknya, sedikit kasar. Anehnya, ia belum bisa melupakan kejadian pekan lalu dimana Rafa memukul wajahnya sampai berdarah. Ia masih kesal.

"Raf, Lo sadar nggak sih sama perbuatan Lo. Ada suami dan anaknya Tante Fara yang menunggu di rumah. Papanya Zafira juga lagi sakit. Lo sudah punya keluarga yang sayang sama Lo. Jadi, mau Lo apa lagi sekarang?"

Al berusaha menguasai emosinya yang sebentar lagi meledak. Rafa malah menarik kerah baju Al dengan tangan kanannya. Ia berbisik.

"Gue bisa lebih jahat dari ini, Al. Bokapnya Zhafira itu dulunya pacarnya  Nyokap gue. Kalau memang gue bukan anak hasil hubungan terlarang, harusnya Bokapnya Fira mau tes DNA buat buktiin kalau gue salah. Gue tadinya minta Fira buat gantiin posisi Bokapnya. Buat jadi sasaran kemarahan gue."

Al melepas kerahnya yang direnggut Rafa.

"Lo sakit Raf. Lo depresi. Gue akan antar Lo berobat. Lo masih sahabat gue, Raf."

Rafa mengumpat. Ia sama sekali tidak berminat melanjutkan persaudaraan  dengan Al.

"Biarin gue sendiri, Al. Gue cuma butuh sosok Ibu yang bisa nenangin hati gue. Sosok yang nggak pernah hadir dari kecil, karena Nyokap gue sakit." Rafa membela diri.

"Tapi nggak juga gini caranya. Lo merusak keluarga Zhafira, Raf. Dan itu salah."

Perseteruan mereka berakhir ketika seorang laki-laki yang mengenalkan dirinya sebagai Kakak sepupu dari Mama Rafa, datang menengahi. Tante Fara juga akhirnya terbangun karena mendengar keributan mereka.

Kini Al berdiri kaku di depan loket, saat Gibran memberinya isyarat untuk mendekat. Seseorang terlihat meringis kesakitan di bed pasien yang baru masuk dari UGD. Tugas mereka adalah mencatat identitas, anamnesa pre operasi dan memastikan jenis operasi yang akan dilakukan.

"Hai Al..."

Rafa...

"Kamu ngapain Raf, jadi pasien?"

Al ingin memulai pertanyaan dengan nada damai, tapi yang ada malah terdengar sarkastis.

"Kata dokter jaga bedah, gue kena usus buntu. Sudah dikonsul ke dokter Erwin, Bedah digestif. Sorry kalian jadi datang karena operasi cito."

"Karma kayaknya."

Al mendengus kesal dan Gibran memandang ke arah Al, tidak suka.

"Ini cuma operasi kecil kan Raf. Lo nggak usah khawatir." Al terlihat malas menganamnesa. Biar Gibran saja yang mengambil alih tugasnya.

Ms Careless and Mr Perfect (Tamat Di KBM dan Karyakarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang