13

257 58 16
                                    

"Hasya, apa benar selama ini kamu hanya menjadi wanita kedua?" tanya Arka to the point saat Hasya menghela nafas lemah. Samar-samar gadis itu menggeleng.

"Saya tidak tahu dengan pasti."

"Sampai saat inipun?" Hasya mengangguk sembari tersenyum hambar.

"Sampai sini, apakah sudah paham dengan yang saya maksud kebodohan terbesar karena menaruh rasa padanya?" Arkan diam dan mengangguk kecil.

"Sangat bodoh, karena sampai detik inipun saya percaya ... "

"Sudahlah." Hasya mengakhiri ucapannya tadi yang masih menggantung. Lalu gadis itu tersenyum dan kembali menarik nafas perlahan, mulai menceritakan lagi bagian lain yang di hadapinya setelah kejadian itu.

______


Gadis itu duduk, di sebuah bangku kantin yang mulai di tinggalkan oleh beberapa santri putra maupun putri yang tadi sudah membeli makan siang atau sekedar membeli jajanan. Hasya menghela nafas lemah, kedua lengannya sedari tadi sibuk memainkan jari jemari.

Sedangkan wajahnya, terus menunduk. Seakan objek di bawah sana lebih menarik daripada objek yang kini berada di hadapannya.

"Hasya ... " Gadis itu sedikit mendongak.

"Berbicaralah," tambahnya sekali lagi, sembari terus menatap Hasya dengan lekat. Sedangkan sang empu yang di ajak bicara, kini malah terus menengok kesana-kemari.

"Sya ... " Suara lelaki itu sangat lembut, membuat Hasya terhipnotis dalam sekejap.

"Hmm, Hasya gak bisa cerita Ustadz. Hasya takut ada Ustadzah yang liat, nanti Hasya dilaporkan pada Umi." Hasya menoleh ke arah belakang. Untung tidak ada siapapun. Sedangkan di tempatnya, Alif tersenyum kecil. Paham dengan ketakutan yang Hasya rasakan saat ini.

"Sya ... sudah. Sekalipun Ustadzah melihat, tidak akan di laporkan. Saya sudah meminta izin pada Ustadzah untuk berbicara disini." Lelaki itu tersenyum, tak lagi kecil namun senyuman itu sangat lebar.

"Ustadz gak bohongin Hasya, kan?" Gadis itu masih menatap Alif tak percaya. Satu anggukan ia dapatkan sebagai jawaban.

"Alhamdulilah," ucap Hasya sembari mengusap-usap dadanya sebentar. Namun, detik berikutnya gadis itu kembali diam. Dan semakin menunduk, tak lagi berani menatap wajah lelaki di hadapannya.

"Hmm, Ustadz ... " Hasya terlihat berfikir sebentar, sebelum melanjutkan ucapannya.

"Boleh Hasya tanya sesuatu?" Alif mengangguk cepat sebagai jawaban, meskipun sedari tadi lelaki itu tak nyaman dengan sebutan yang Hasya berikan.

"Gimana kalo Hasya pengen ketemu sama harim Ustadz Alif?" Garis-garis kecil pada dahi Alif terlihat jelas, seakan memberi isyarat bahwa dirinya tak paham dengan apa yang baru saja Hasya lontarkan.

"Apa yang kamu bicarakan, Hasya?"

"Harim, Ustadz." Gadis itu kembali memainkan jari-jarinya. Hasya tetap menunduk, ia tak ingin jika mendongak nanti air matanya luruh di hadapan Alif langsung. Meskipun sedari tadi, lengan lentiknya terus mengusap ujung netranya yang basah tanpa sepengetahuan siapapun.

"Kenapa kamu bertanya seperti ini, Hasya?" Hasya diam. Gadis itu tak bisa berkata lagi, tenggorokannya seakan tercekat oleh rasa yang sesak.

U S T A D Z  I'm here!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang