17

204 42 0
                                    

"Sakit secara fisik dan batin," ucap Tari penuh penekanan. Setelah mengatakan itu, Tari berjalan mendekati Hasya. Tanpa memperdulikan lagi, Alif yang mungkin tersinggung oleh ucapannya.

Samar-samar, Hasya mengusap setitik air yang tadi keluar dari netranya. Gadis itu kemudian tersenyum kecil, entahlah mengapa ia tersenyum.

"Sya ... " Hasya menoleh, melihat Alif yang baru saja memanggilnya dari dalam ruangan kantin.

"Kemari sebentar," tambah Alif sekali lagi. Hasya menggeleng lemah, kemudian tersenyum kecil bak gadis itu baik-baik saja.

Melihat itu, Alif menghela nafas kasar. Paham dengan apa yang saat ini di rasakan oleh Hasya ulah teman-temannya yang tadi menggoda Fuji menggunakan namanya.

"Mbak Tari, ini nasinya," seru seseorang, Tari mendekat dan segera mengambil sebungkus nasi dan sebotol air mineral.

"Makasih Ustadz," tambah Tari, gadis itu tersenyum. Lalu ia melirik Alif sekilas, lelaki itu masih menatap Hasya yang kini membelakanginya.

"Tari, saya mohon ajak Hasya sebentar untuk kemari," pinta Alif, lelaki itu memasang raut sedihnya.

"Untuk apa Ustadz?" Gadis yang biasanya tergila-gila oleh ketampanan Alif itu mendelik kesal.

"Ada yang ingin saya bicarakan." Tari terlihat menghela nafas kasar lalu berjalan ke arah Hasya dan menarik lengan gadis itu secara tiba-tiba untuk mendekat ke arah etalase. Membuat sang empu hampir saja terhuyung ke belakang.

"Ada apa sih Tar?"

"Tuh." Tari menunjuk pada Alif dengan raut wajahnya.

Hasya menatap wajah Alif sekilas, matanya berkaca-kaca.

"Ekhem, Tadz. Baru yang tadi ... " Ucapan teman Alif di dalam sana terhenti saat melihat raut wajah Alif yang memberi isyarat agar diam.

"Sakit apa?" tanya Alif dengan suara sangat lembut. Lelaki itu lebih mendekat, meskipun di antara mereka terhalang oleh etalase kantin.

"Sya ... " Kali ini, Hasya mendongak. Sedari tadi gadis itu sudah tak kuasa menahan tangisnya. Hasya yang biasanya akan terus tersenyum jika berhadapan langsung dengan Alif, kini berbeda. Gadis itu tak menampilkan senyum sedikitpun di sana.

"Biasa aja," jawab Hasya dengan suara datar dan mata yang sudah memerah hendak mengeluarkan lavanya. Namun di dalam hatinya, gadis itu terus membatin, "Fisik saya sakit, hati saya juga sakit Ustadz!"

"Tadi pas di aula, anak kecil bilang sama saya. Kamu sakit, dan ingin meminjam handphone untuk menghubungi Abi?" Hasya menggeleng cepat.

"Nggak kok, Hasya gak bilang Hasya sakit dan pengen pinjem handphone Ustadz."

"Kenapa, hmm?" tanya Alif sangat lembut, mungkin lelaki itu paham dengan sikap yang Hasya perlihatkan.

"Gapapa, Ustadz." Hasya tersenyum sangat manis, mungkin terlihat sangat di paksakan, namun senyumnya tetap saja terlihat sangat menawan.

"Udah malem, Hasya balik ke kamar ya Ustadz."

"Sya ... "

"Ah iya ... " Hasya yang baru saja melangkahkan kakinya, kembali berbalik badan pada Alif.

"Bagi nomor Ustadz."

"Bukannya sudah punya?"

"Ustadz lupa kalo handphone, di kumpulin?" Alif terlihat menganggukkan kepala, lalu lengannya mencari sebuah pulpen dan kertas untuknya menulis. Tak juga menemukan kertas, lelaki itu menyobek sedikit kotak wafer yang ada di hadapannya.

U S T A D Z  I'm here!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang