Minggu pagi kali ini membuat Bian semakin mengeratkan selimutnya dikarenakan cuaca yang benar-benar membuat siapapun enggan untuk berpisah dari buaian sang kasur yang selalu hangat. Hujan turun membasahi tanah Jakarta sejak subuh, dan tidak ada tanda-tanda kemunculan sang mentari.
Ah, Bian suka sekali jika sudah seperti ini.
"Hmmm, seandainya gua udah punya istri enak kali ya dingin-dingin gini pelukan sambil...."
Yah, begitulah. Bian dan otaknya yang selalu kotor.
Teman-temannya kadang suka heran, bagaimana bisa otak kotor Bian bisa seimbang dengan otak jeniusnya. Sewaktu zaman SMA Bian menjadi lulusan terbaik tingkat Nasional, kuliah IPK menyentuh angka 3.98 dan lulus dengan predikat cumlaude. Tapi, setiap kali mereka kumpul dirumah siapa saja, Bian tidak pernah lupa untuk membawa hardisk hitam kesayangannya. Dan akan berseru...
"Oi, gua punya film bokep baru cuy. Kuy nobar!"
Dan, mereka pun berakhir di dalam kamar dengan puluhan lembar tisu yang berserakan. Yah, namanya juga cowok normal.
Tapi, mereka hanya berani nobar jika disalah satu rumah yang akan dikunjungi tidak ada orang lain selain mereka. Dan tempat yang sering dijadikan untuk nobar biasanya adalah rumah Eza.
Iya, karena rumah Eza tidak ada siapa-siapa. Hanya Eza sendiri.Oke, kembali ke kamar Neandro Sabian.
Bian yang berusaha untuk kembali ke alam mimpinya harus terusik dengan getar panjang pada ponselnya yang ia letakkan diatas nakas samping tempat tidur.
Awalnya Bian acuh. Ah nanti aja gua telpon balik. Begitu pikirnya.
Tapi, semakin lama Bian semakin kesal dibuatnya. Pasalnya, ponsel Bian terus bergetar berkali-kali tanpa henti. Dengan terpaksa Bian menggerakkan tangannya untuk meraih ponsel yang terus bergetar, lalu menggeser ikon berwarna hijau tanpa melihat siapa yang menelepon.
"Ya halo." sahut Bian ketus.
"Halo, Bian. Sayang, hari ini mama belum bisa balik ke Jakarta. Nanti kalo ada pak Edi tolong bilangi gak usah ke bandara gitu. Mama masih ada urusan disini. Udah ya, makasih sayang." Bian baru saja hendak membuka mulut untuk berbicara, sambungan telpon sudah terputus lebih dulu.
Bian menghela nafas, menghilangkan rasa kecewa yang tiba-tiba saja muncul.
Bian punya orang tua tapi seperti tidak punya orang tua. Semua pada sibuk masing-masing.Iya gua tahu kok kalo gua sudah besar, tapi apa salah kalo gua pengen dapet perhatian dari mereka? Begitu yang sering terlintas dipikiran Bian.
Bian pikir, dia dengan segala prestasinya dapat membuatnya merasakan perasaan bangga dan bahagia karena berhasil memberikan sebuah kebanggaan untuk kedua orang tuanya. Tapi ternyata tidak, dan Bian hanya bisa menelan kekecewaannya sendiri.
"Gua punya orang tua utuh tapi gak perhatian gini aja rasanya sedih banget. Gimana perasaan Eza coba."
***
Bian beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan keluar kamar pada sore hari. Itupun karena perutnya tengah dilanda lapar. Setelah pagi tadi menghampiri pak Edi untuk menyampaikan pesan mamanya, Bian kembali ke kamar sambil membawa setoples besar camilan yang ia ambil dari dapur. Seharian ini ia hanya memakan camilan sambil menonton film di kamarnya.
Namanya juga lagi mager.
Sesampainya di dapur Bian langsung membuka tudung saji yang ada di meja makan dan langsung meraih piring untuk segera ia santap. Bian kelaparan, sangat.
Ya siapa suruh seharian tidak makan.
Setelah selesai makan Bian langsung berjalan kembali ke arah kamarnya yang terletak di lantai dua rumahnya. Baru setengah jalan anak tangga, Bian mendengar suara ribut-ribut yang sangat ia kenal.
"Bang Bian. Bang Bian. Main yoookk!!!" tak lama terdengar suara cekikikan yang sangat khas. Siapa lagi kalau bukan Ansell dan Eza.
Tumben dateng ke rumah nggak ngabarin dulu. Pikir Bian.
Baru saja Bian kembali menuruni tiga anak tangga, wajah Ansell dan Eza sudah terlihat di matanya dengan kekehan yang masih tersisa di bibir keduanya.
"Ngapain kalian berdua? Tumben kesini nggak ngabarin dulu."
"Makanya bang, kalo punya hape itu dicek doong, gua udah chat lu berkali-kali loh, tapi nggak lu baca juga. Kan Ansell jadi kesal." Bian mengerutkan wajah menatap jijik ketika Ansell memasang wajah cemberutnya.
"Dih, najisin lu Sell." Eza menoyor kepala Ansell.
Bagus Za, lu mewakili isi hati gua hahahaa. Pikir Bian sambil tertawa kecil.
"Kuy, kita masuk kamar dulu, beb." Eza merangkul pundak Bian membimbing kembali menaiki anak tangga.
"Eh babi. Ini kan rumah gua, napa jadi lu yang nyuruh masuk sih?"
"Udah sih sama aja." ujar Eza sambil terus membawa Bian kembali ke kamarnya.
"Jadi, kenapa nih?" tanya Bian ketika sudah duduk di atas ranjangnya. Eza langsung meraih toples cemilan yang ada di atas nakas milik Bian.
Ansell ikut bergabung duduk di atas ranjang dan menatap Bian dengan tatapan serius. "Jadi gini bang..."
Hening beberapa saat. Tak ada yang bersuara kecuali suara Eza yang sedang mengunyah cemilan.
"Bangsat ya lu pada. Ini napa jadi diem-dieman sih anjir? Lu pikir ini sinetron apa, yang suara dalam hati bisa kedengeran sampe tetangga!" sewot Bian.
"Hahahahaaa... Aduh, aduh! Anjing!" Ansell tertawa lepas sampai terjatuh dari atas tempat tidur.
"Gua kesini cuma nemenin itu bocah Bi, dia tiba-tiba nongol ke rumah gua minta ditemenin kesini." jelas Eza pada Bian setelah berhasil menghentikan tawanya.
"Lah, biasanya juga lu kesini sendiri, Sell. Tumbenan amat lu minta ditemenin."
"Nggak gitu bang. Lu kan gua chat dari tadi kaga ada bales tu. Nah, daripada gua kesini sendirian terus lu nya kaga ada, kan gua jadi merasa sedih sendiri. Jadi, gua ajaklah bang Eza kesini, biar kalo lu kaga ada di rumah gua jadi bisa berbagi kesedihan sama bang Eza hehee."
"Halah. Alesan aja lu." sahut Bian.
"Lu kaga nanya nih, tujuan gua kesini buat apa?" ujar Ansell lagi.
"Nggak perlu ditanyain. Gua udah tahu apa tujuan lu kemari. Tuh, hardisk gua ada di atas meja. Lu ambil sendiri dah film yang mau lu ambil."
"Yes! Emang paling paham lu sama gua bang. Sayang banget dah gua ama lu, ahay!" sorak Ansell gembira. Eza hanya tertawa sembari menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Ansell.
"Dasar. Kelakuan di depan ibu sama pacar sholeh. Di belakang bejat kayak germo." ucap Bian sambil terkekeh bersama Eza.
"Bang, gua masih disini loh kalo lu lupa. Enak aja germo. Gua kan butuh edukasi reproduksi bang, biar nanti kalo udah nikah sama neng Sylvi bisa langsung dipraktekin. Biar langsung gol gitu." sahut Ansell sambil menaik turunkan kedua alisnya.
"Serah lu bangsat!" umpat Bian membuat mereka bertiga tertawa lepas.
Minggu Bian yang awalnya sepi, hanya ditemani oleh suara yang berasal dari televisi, kini sudah ramai penuh dengan tawa, umpatan, bahkan kata-kata kotor tak berakhlak yang keluar dari bibir mereka bertiga. Padahal yang ada di kamar Bian hanya mereka bertiga, tapi ramainya sudah seperti satu komplek yang lagi kerja bakti.
Memang, minggunya Bian akan terasa lebih hidup jika Bian sudah bersama teman-temannya.
Pokoknya kalau kata Bian:
Bahagianya barudak, ya bahagianya Neandro Sabian.[]
![](https://img.wattpad.com/cover/217795686-288-k633439.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Barudak Tampan Squad ✅
FanfictionKehidupan; Persahabatan; dan Asmara. 🚫🚫🚫 - bangtanvelvet lokal - tidak baku - banyak umpatan kasar