Perasaan

771 100 1
                                    

"Ku menangiiiiiiiissss... membayangkan, betapa kejamnya dirimu atas diriku. Kau duakan cinta ini... Kau pergi bersamanyaaaa... ADOH!!"

"Apaan sih Ya? Berisik tau nggak?!"

"Iiiihh apa sih Eja, toyor-toyor kepala Yaya seenaknya. Ini tuh kepala isinya otak tau nggak?! Kalo nanti kepintaran Yaya ilang gara-gara sering Eja toyor, Eja mau tanggung jawab?! Hah?!" Yaya alias Zoya Amalia Lubis memberengut kesal menatap Eza yang kini tengah duduk di sofa tunggal di depan gadis berambut hitam tersebut.

"Eja Eja, nama gua Eza pake Z bukan pake J. Lagian lu pinter darimananya sih? Otak aja nggak punya."

"Heh, enak aja!" Eza tertawa melihat ekspresi kesal yang ditunjukkan oleh Zoya.

Zoya atau Yaya yang hanya boleh digunakan oleh orang-orang tertentu seperti kedua orang tuanya dan keluarga. Dan Eza yang menjadi satu-satunya orang lain tanpa ikatan saudara yang bisa memanggil Zoya dengan panggilan tersebut.

Ya, hanya Eza. Kenapa? Karena mereka berdua sudah dekat sejak kecil. Selain mereka hidup bertetangga dan bermain bersama sejak kecil, Zoya juga menjadi saksi hidup Eza sejak dulu hingga sekarang. Selain Galen, Zoya adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana Eza melalui masa-masa sulit kehidupannya.

Zoya lebih muda dua tahun dari Eza. Dulu, sewaktu masih sekolah, dimana ada Eza disitu akan ada Zoya. Dari sekolah dasar bahkan hingga kuliah di perguruan tinggi pun Zoya selalu memilih tempat yang sama dan mengikuti jejak Eza. Setiap kali Eza bertanya apa alasan Zoya selalu ingin bersekolah di tempat yang sama dengannya, Zoya akan selalu menjawab, "Yaya mau sama-sama Eja terus, biar Eja tau kalo Yaya selalu ada buat Eja."

Terkadang, Eza tidak habis pikir dengan jalan pikiran si Zoya. Apa sih yang ada di kepala Zoya? Eza hanya bisa menggelengkan kepalanya setiap kali mendengar alasan tak masuk akal yang terlontar dari bibir Zoya.

Pernah suatu kali, Zoya mendiamkan Eza hanya karena ucapan Eza yang entah dibagian mananya yang salah, Eza pun tidak tahu. Setahu Eza ucapannya tidak ada yang menyinggung, Eza juga tidak menggunakan nada tinggi, Eza bahkan tidak pernah marah pada Zoya.

Saat itu, sepulang dari kampus mereka memutuskan untuk bersantai sejenak di caffe langganan mereka, dan lagi Eza kembali mempertanyakan alasan Zoya, mengapa Zoya selalu ingin bersama-sama Eza, dan jawaban yang diberikan Zoya selalu sama. Hingga tiba-tiba Eza berujar, "tapi kan, Yaya nggak selamanya bakal sama-sama Eza. Suatu saat nanti pasti Eza bakal nemuin jodoh, terus nikah, punya anak, masa Yaya masih mau ikutin Eza? Yaya juga nanti pasti bakal nemuin jodoh juga kan?" Eza yang selalu menyebut namanya sendiri jika sudah mulai berbicara serius pada Zoya, mulai memperhatikan ekspresi wajah Zoya yang mulai berubah.

Zoya mendadak terdiam, tak ada senyum yang terpatri di wajah manisnya. Eza yang bingung dengan perubahan wajah Zoya hanya bisa menggaruk lehernya yang tidak gatal, Eza bingung. Apa dia salah ucap?

"Eza nggak suka ya sama Yaya? Eza nggak suka Yaya ikutin? Eza risih ya sama Yaya?" Eza yang melihat ada linangan airmata di wajah Zoya bergerak gelisah di tempatnya.

"Bu-bukan gitu Ya, maksud gua-"

"Yaya pulang duluan. Makasih traktirannya. Yaya bakal jauhin Eza kalo memang itu maunya Eza." Zoya lantas berdiri dan pergi meninggalkan Eza yang terdiam tak berkutik, tidak menyangka dengan reaksi yang diberikan oleh Zoya.

Setelah kejadian itu, Zoya benar-benar mendiamkan Eza selama 3 minggu. Selama itu pula, Eza merasa bersalah dan menyesal atas ucapannya. Eza rindu Zoya yang suka mengikuti kemanapun Eza pergi. Eza rindu dengan kebawelannya si Zoya. Eza sudah menganggap Zoya seperti adik perempuannya. Eza tidak ingin kehilangan seseorang yang ia sayang lagi.

Barudak Tampan Squad ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang