TIGA PULUH DUA

6.9K 191 14
                                    

Bagaikan disampar petir disiang bolong, aku mendengar kabar yang hampir membuat jantungku berhenti seketika. Bagaimana tidak, Om Herry meneleponku dengan suara histeris dan mengabarkan kalau Adina sudah meninggal dunia.

Saat itu juga, aku meninggalkan pekerjaan yang sebenarnya masih menumpuk lalu bergegas menuju rumah duka. Sesampainya disana, aku melihat sudah banyak kerumunan orang yang berada di situasi berduka atas kepergian Adina yang sangat mendadak.

Aku menahan langkahku untuk masuk ke ruangan dimana jenazah Adina disemayamkan. Entahlah, aku ada rasa trauma tersendiri melihat kerumunan orang yang dalam situasi berduka seperti ini. Aku berusaha menstabilkan diriku sendiri sebelum muncul dihadapan orangtua Adina yang mungkin lebih terpukul dariku, Yaampun Adina. Sebenarnya apa yang terjadi?

Disudut ruangan aku melihat Om Herry sedang duduk sambil menundukkan kepalanya, berkali-kali menghapus air matanya dengan sapu tangan yang digunakannya. Jujur saja, aku berada di situasi yang berat. Aku harus berusaha tegar walau sebenarnya hatiku dan emosiku sudah terkecamuk dengan rasa kehilangan.

"Assalamualaikum, Om" sapaku dengan pelan, sambil duduk disamping Om Herry yang kini mulai melihat dan tersenyum ke arahku.

"Waalaikumsalam" jawabnya pun pelan. Dan Om Herry langsung memelukku dengan erat sambil memecahkan tangis kesedihannya. "Ar, Adina Ar. Anak Om" katanya sambil terisak dan tersengguk. Aku berusaha menguatkan Om Herry, "Yang tabah ya Om.."

"Om merasa gagal jadi orangtua, Ar. Om sangat gagal" keluhnya. Akupun semakin tak kuasa menahan air mata yang sejak tadi di tahan, "Sabar Om, Sabar. Semua sudah jalannya. Adina sudah tenang disisi Allah" dan lagi, aku kembali menguatkan Om Herry yang sudah mulai melepaskan dirinya dari pelukanku.

Aku melihat jenazah Adina yang sedang dikelilingi oleh kerabat yang menghadiahinya dengan lantunan ayat suci. Aku belum mempunyai banyak nyali untuk melihat Adina kali ini.

Adina Vernine yang aku kenal beberapa tahun yang lalu dan masih mengisi sebagian besar hatiku sampai saat ini sudah kembali ke hadapan penciptanya. Adina yang cantik dan selalu ceria kini hanyalah tinggal kenangan, Adina yang selalu memperhatikanku dikala kesibukannya kini sudah tidak bisa aku dengar lagi suara tawa renyahnya. Adina, kenapa kamu? Sebenarnya ada apa?

Aku menguatkan hati sebelum melihat jenazah Adina, rasanya berat ditambah masih ada trauma yang tertanam pada diriku akan rasa kehilangan seperti ini. Aku membuka kain penutup wajah Adina, aku melihat wajah cantik Adina yang tersenyum dan tertidur dengan tenang dengan wajah yang sudah pucat dan sudah dingin.

Airmataku pecah ketika menatap Adina, memoriku langsung mengingat kenangan manisku dengan Adina beberapa tahun terakhir. Takkan ada lagi Adina yang selalu datang tiba-tiba kerumahku hanya untuk menengok dan mengajak main Aghnia. Andai saja kamu tau Adina, kamulah wanita pertama yang dicintau oleh anakku Aghnia, karena kamulah yang berada disisinya ketika Aghnia membutuhkan sosok seorang Ibu.

"Ayaaaaahhh" panggil suara yang begitu aku kenal dikala aku sedang melantunkan ayat suci untuk Adina,

Aghnia menangis, "Ayah, Tante Adina kenapa Ayah?" Katanya, sambil memeluk lenganku dan mengusapkan wajahnya karena sudah penuh dengan airmata.

"Ayah, Tante Adina seperti Ibu ya? Kenapa Ayah? Agi sayang tante Adina" rengeknya.

Aku memeluk Aghnia, berusaha untuk tenang dihadapannya, "Agi, dengar ayah.. Waktu Tante Adina di dunia hanya cukup sampai hari ini, sisanya Tante Adina akan tinggal di Surga sama Allah. Agi boleh sedih hari ini, tapi harus selalu doakan Tante Adina seperti Agi mendoakan Ibu ya?"

"Hikss hikss Ayah, kan katanya Tante Adina bakalan jadi Ibunya Agi, tapi kok Tante Adina malah ke surga?" Aghnia terus menangis sambil mendekapku tepat disamping jenazah Aghnia,

"Keluar yuk? Jangan nangis disini. Nanti Tante Adina ikutan sedih loh di Surga. Kalau orang sudah di Surga seharusnya bahagia sayang" aku berusaha menenangkan Aghnia dan menggendong Aghnia ke luar untuk menenangkannya,

Aghnia memelukku erat, sambil menangis. Aku mengusap punggung dan rambut sebahunya sambil menciumi puncak kepalanya, "Jangan nangis Agi, kalau Agi doain Tante Adina, Tante Adina nya malah senang dan tersenyum di Surga"

"Agi sayang Tante Adina, Ayah" rengeknya sambil terus menangis..

Kini aku disamping pusara Adina yang dipenuhi bunga kesukaannya, menatap nisan yang bertuliskan nama lengkapnya. Aku tersenyum, mengingat Adina yang selalu menghiburku ketika keadaanku sedang rapuh karena kehilangan mendiang Nafisa.

"Adina, kenapa kamu secepat ini meninggalkan aku? Padahal banyak rencana yang sudah aku susun yang didalamnya akan ada kamu disetiap harinya" , "Sebenarnya ada apa Adina? Kenapa bisa seperti ini?"

Tiga hari semenjak kepergian Adina, hampir setiap sore aku datang untuk menghadiri acara pengajian yang diadakan oleh keluarga besarnya. Rumah ini tampak kosong, tanpa kehadiran sosok yang begitu dominan dan menjadi sumber kebahagiaan disini.

Alhamdulillahnya, orangtua Adina sudah bisa menghadapi kenyataan dan takdir atas kepergian anak sematawayangnya. "Om berterima kasih pada Allah sempat dititipkan anak yang begitu baik, cantik, cerdas juga penyayang seperti Adina. Pesan Om untuk kamu, jagalah Aghnia dengan sepenuh hati, besarkan dengan rasa cinta didalamnya. Om percaya kamu bisa membesarkan Aghnia dengan baik, Ar"

Aku tau betul rasa cinta seorang Ayah pada anaknya pasti begitu besar, dan untuk kehilangan secara mendadak seperti ini rasanya pasti amat sangat terpukul, semoga Om dan Tante bisa melewati cobaan ini dengan tabah, amin.

"Om merasa bersalah, Ar. Om dan Tante terlalu egois dengan kesibukan pekerjaan sehingga tidak terlalu mementingkan psikis Adina. Om kira, Adina baik-baik saja setelah kejadian pembatalan pernikahan dengan Billy secara tiba-tiba itu. Tapi kami salah, justru Adina menderita stress yang mengakibatkan mentalnya terguncang. Ar, harusnya Om mendukung dan menemani Adina disaat-saat rapuh seperti itu." Keluh Om Herry sembari meneteskan sedikit air matanya dihadapanku.

"Om, sudah.. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Om dan Tante tidak sepenuhnya bersalah atas kejadian ini. Sudah takdir yang harus kita terima bersama Om, pelan-pelan kita bangkit tanpa harus melupakan secuilpun kenangan manis ataupun pahit kita bersama Adina"

***

Selamat malam, udah pada tidur belum nih? Hehe update dadakan karena di Bogor hujan deras jd tiba-tiba muncul ide untuk part ke 33 ini 😁

Semoga suka ya, jangan lupa vote dan komen di part ini. Makasih banyakkk kalian masih antusias dengan cerita ini walaupun aku sempat vakum hampir setahun, atau lebih? Hahaha

Luvs u all ❤️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kisah Arkendra, Si Duda Anak Satu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang