TIGA BELAS

8.3K 394 9
                                    

Keesokannya setelah sampai di Jakarta, aku mengajak Aghnia dan Adina ke makam mendiang Nafisa. Hari ini, tepat 1,5 tahun Nafisa meninggalkan kami. Duka ini masih ada, kehilangan ini makin terasa. Tapi, hidupku harus terus berjalan demi kebahagiaan Aghnia. Ya, semuanya hanya untuk putri kecilku yang cantik ini.

Didepan pusara Nafisa, kami menambur bunga dan air mawar sebagai bentuk tanda kedatangan kami kesini, setelah itu mengirimkan doa sambil mencuci nisan yang tertulis namanya. Rasa pilu itu masih ada, tapi aku sudah menyakinkan hati  dengan tujuanku kesini. Aku ingin mengenalkan sosok Adina pada Nafisa.

"Sayang, kenalin. Ini Adina, teman dekat Mas saat ini. Kalau memang nantinya Allah memberikan takdir-Nya kepada aku dan Adina untuk bersatu, Adina akan menjadi ibu sambung untuk anak kita" aku berbicara bagaikan dari hati ke hati pada Nafisa yang sudah tenang di alamnya.

Aku seperti merasakan kehadiran Nafisa disini, semilir angin terus bermunculan kala kami berada disini.  Mungkin ini suatu tanda kalau Nafisa menyetujui keputusan yang nantinya akan aku ambil. Rasa sedih itu muncul kembali, aku tidak bisa menahan kesedihan ini, hingga tak terasa air mataku menetes, dan aku langsung menghapusnya agar tidak terlihat oleh Aghnia juga Adina.

"Kendra..." Kata Adina, menenangkanku yang sedang diluputi rasa sedih yang begitu mendalam, sambil mengelus pundakku dengan lembut.

Aku tersenyum, "I'm okay" menjawab perhatian Adina yang barusan menenangkanku. "Kamu mau bicara dengan Nafisa? Perkenalkan dirimu juga tak apa, sudah waktunya"

Adina mengangguk, "Mbak Nafisa, saya Adina. Senang rasanya bisa mengunjungi makam Mbak untuk pertama kalinya. Mbak, bukan maksud saya untuk merebut Kendra dan Aghnia, tapi jika takdir kami bersama, izinkan saya menjadi istri Kendra dan ibu sambung untuk Aghnia. Saya janji akan menyayangi mereka sebisa dan semampu saya. Semoga Mbak disana meridhoi hubungan kami"

Terharu, sedih, pilu, rindu, semuanya bergabung dalam perasaanku dideoan pusara Nafisa. Tidak dapat dipungkiri bahwa, rasa cinta ini masih melekat padanya. Mungkin ini yang dinamakan rasa cinta yang tidak akan bisa pudar dengan apapun. Nafisa adalah sosok wanita yang sudah memberikan hadiah terindah untukku disisa hidupnya, yaitu Aghnia.

Namun, ada lagi sosok wanita yang berhasil membuatku bangkit dari rasa terpuruk juga kesedihan dan menjadi penyemangatku saat ini, Adina Vernine. Memang, sosok Adina nantinya tidak bisa sepenuhnya menggantikan sosok Nafisa sebelumnya, namun aku yakin kalau Adina bisa kembali mengisi dan menghidupkan sumber kebahagiaan diantara aku dan Aghnia. Bismillah, mulai saat ini aku memilih untuk yakin melangkah bersama Adina. Berjalan bersamaan menggapai hari-hari dan harapan yang baru bersama. Aku yakin, kami bertiga bisa saling membahagiakan.

***

"Kendra, aku ingin mengenalkan kamu dengan Mami dan Papi" kata Adina.

"Boleh, aku inshaAllah sudah siap. Tapi, apa orangtuamu bisa menerimaku sekaligus dengan Aghnia?"

"Kendra, kita hadapi mereka bersama-sama. InshaAllah mereka menerimamu dengan Aghnia. Percaya sama aku, ya?"

Aku mengangguk, "Baik, besok malam aku akan kerumahmu sebelum lusa kembali ke Jogja"

"Oke Kendra"

Dan malam ini, aku sedang dalam perjalanan menuju rumah Adina. Rumah yang dulu pernah aku datangi ketika mencari Adina yang tidak ada kabar sama sekali, namun sayang rumah itu kosong karena Adina dan orangtuanya telah pergi ke Swedia. Kali ini aku datang untuk sebuah harapan, harapan untuk menjadikan Adina sebagai bagian dari masa depanku dengan Aghnia.

Setelah sampai, aku mempersiapkan diri untuk masuk ke dalam. Sedikit nostalgia, rumah ini lumayan banyak perbedaan dibandingkan beberapa tahun silam. Aku berjalan mendekati pintu utama, lalu mengetuk pintu tersebut. Selang beberapa detik, aku mendapati Adina yang membukakan pintu, "Kendra, aku kira kamu tidak akan datang" katanya, lalu mempersilahkan aku untuk masuk.

"Aku pasti datang, kan aku sudah janji" balasku.

"Mami Papi masih di atas, sebentar ya aku panggilkan. Kamu duduk dulu disini" katanya.

Lalu aku mendapati Mami Papinya Adina menuruni tangga, lalu menyapaku. Dan aku mencium tangan mereka dengan sopan. "Malam om, tante" sapaku.

Dengan kompak mereka menjawab, "Malam", "Silahkan duduk" lanjut Mami-nya Aghnia.

Wajah Papi-nya Adina terlihat ramah karena selalu tersenyum, dan berbanding terbalik dengan Mami-nya Adina yang terkesan jutek padaku. Kalau boleh jujur, aku menjadi tidak nyaman.

"Om, Tante. Perkenalkan saya Arkendra Megantara, teman dekatnya Adina saat ini. Maksud kedatangan saya kesini, ingin meminta izin kalau saya dan Adina akan menjalani hubungan yang lebih serius kedepannya, dan memohon restu dari Om juga Tante" tanpa basa basi, aku langsung pada topik tujuan kedatanganku kesini. Tatapan Mami-nya Adina semakin tajam, seakan-akan sedang menatap orang yang tidak disukainya.

"Iya Mi, Pi. Ini Arkendra yang selama ini Adina ceritain ke Mami dan Papi. Arkendra itu dulunya teman SMA-ku sebelum kita sekeluarga pindah ke Swedia" Adina memperkenalkanku didepan orangtuanya.

Tatapan mata Mami-nya Adina semakin tajam kepadaku. Kalau boleh jujur, aku tidak nyaman dalam situasi ini, tapi demi Adina juga hubungan kami kedepannya, apa boleh buat? Harus aku hadapi.

"Arkendra Megantara, duda beranak satu?" Akhirnya, Mami-nya Adina membuka suara dengan nada sinis, bahkan sangat sinis.

"Mi, tidak baik membawa-bawa status seperti itu" Kata Papi-nya Adina menegur istrinya, "Maaf Arkendra, jangan diambil hati ya"

"Iya tante, saya duda dan mempunyai seorang anak perempuan yang masih berusia 1,5 tahun"

"Mau mempersunting anak saya?" Tanya Maminya Adina lagi,

Aku mengangguk yakin, "Iya tante, seizin dan serestu Om dan Tante"

"Adina, apa kamu mau menikah dengan duda? Yang mana nantinya setelah menikah kamu akan disibukkan dengan mengurus anak yang bukan darah dagingmu? Adina, sudah berulang kali Mami bilang, dipikir-pikir dulu"

Deg! Hatiku merasa ngilu begitu mendengar kata demi kata yang terlontar dari mulut Mami-nya Adina.

"Mami, Cukup!!" Bentak Papi-nya Adina, membuat situasi di ruangan ini bertambah tidak enak.

Aku melirik Adina yang sudah menundukkan kepalanya disebelahku, Adina menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, lalu Adina terisak. "Adina..." Panggilku pelan, sambil menenangkannya dengan cara mengusap bahunya perlahan. Isakan itu malah semakin terdengar. Aku bingung, harus berbuat apa.

"Adina, kenapa kamu malah nangis? Dengar Mami, menikah tidak melulu soal bahagia, tidak melulu soal cinta. Adina, kamu harus melihat pada realita. Mengurus anak yang bukan anak kandung tidak semudah yang kamu pikirkan selama ini!!!"

"Tante, maaf sebelumnya kalau saya lancang. Memang, saya mempunyai satu anak dari pernikahan saya sebelumnya dengan mendiang istri saya. Dan memang, menikahi seorang duda tidak semudah itu untuk sebagian orang. Tapi InshaAllah saya bisa memperlakukan Adina sesuai dengan apa yang seharusnya didapatkan oleh seorang istri dari suaminya. Mengenai kebahagiaan, InshaAllah saya akan memberikannya pada Adina"

"Arkendra!" Mami-nya Adina berseru.

***

Heeeeiii, aku upload lagi nih^^

Semoga kalian suka part ini yaa❤️

Jangan lupa vote dan komen okeey😍

Kisah Arkendra, Si Duda Anak Satu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang