Hari yang aku takuti, harus aku hadapi hari ini. Beraaat rasanya, harus meninggalkan anak dan keluarga di Jakarta dan bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.
"Ar, betah-betah ya disana. Fokus pada pekerjaan dan posisi barumu itu. Jangan terlalu memikirkan kami disini, InshaAllah baik-baik saja. Jaga kesehatan" Nasehat Ayahku di Bandara siang ini. Kemudian dilanjutkan dengan beberapa nasehat yang serupa dari Ibu, juga kedua orangtuaku.
Aghniaku, anakku yang kini sedang tertidur pulas diatas stroller. Ah, melihat Aghnia rasanya berat sekali. Tak henti aku menciumi pipi gembil Aghnia walaupun sedang tertidur pulas. "Anak ayah, baik-baik ya sama Kakek Nenek. Ayah janji akan sering pulang ke Jakarta jadi anak baik ya sayang" bisikku pada Aghnia.
Ketika didalam pesawat, lamunanku kembali teringat pada keluarga kecilku. Andai saja Nafisa masih di dunia, mungkin aku akan memboyong Nafisa dan Aghnia ke Jogja, memulai kehidupan yang baru disini.
Dan aku jadi teringat ketika hamil dulu, Nafisa merengek ingin ke Jogja untuk makan angkringan secara langsung. Hampir setiap hari Nafisa mengajakku ke Jogja, tapi apa boleh buat, kondisi kehamilannya saat itu benar-benar repot, sampai dokter pun melarang Nafisa untuk berlibur dan naik pesawat.
"Iya sayang, Mas janji nanti kalau anak kita sudah bisa diajak berlibur, Mas akan ajak kalian ke Jogja ya? Sekarang fokus dulu dengan masa kehamilanmu, kita kerja sama-sama untuk menjaga calon anak kita dari dalam perutmu ya?" Aku menenangkan Nafisa yang sedang merengek dengan berjanji seperti ini saat itu.
"Benar ya Mas? Jangan bohong. Aku pengen banget ke Jogja sama kamu, Mas"
"Iya sayang, Mas Janji. Udah yuk tidur, sudah malam. Besok kan Mas harus berangkat setelah subuh"
Aku tersenyum miris, 2 jam yang lalu aku sudah sampai di Jogja, dan sudah menempati rumah dinasku disini yang disediakan oleh kantor. Aku berjanji saat itu, membawa Nafisa dan Aghnia kesini. Tapi nyatanya? Aku ke Jogja sendirian, menetap sendirian disini. Harus terpisah jarak yang begitu jauh dengan Nafisa yang sudah tenang disana, dan juga harus terpisah jarak antara Jogja dan Jakarta yang memisahkan antara Ayah dengan anaknya.
Arkendra Megantara, Si duda anak satu ini pada akhirnya harus menjalani hari-hari seorang diri. Berjauhan dengan anak, dan hanya bisa bersua melalui voice call ataupun video call. Terkadang, semangat ini menyusut begitu saja ketika apa yang diinginkan ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan, tapi.. Mau bagaimana lagi?
***
Satu bulan, waktu yang bukan sebentar untuk terpisah dari Anak juga orangtua yang ada di Jakarta. Rasanya, begitu susah sekali untuk meluangkan waktu pulang ke Jakarta mengunjungi mereka. Waktuku hampir terkuras di kantor, menjadi kepala cabang di perusahaan yang masih tergolong baru diwilayah sini tidaklah gampang.
Kadang, aku merasa bersalah ketika terlalu sibuk dan akhirnya sampai mengabaikan voice call atau video call dari Ibu, Ayah, ataupun mertuaku. Dan ketika aku ada senggang, kadang mereka yang tidak mengangkat karena sedang memiliki kegiatan.
Dan yang lebih miris, dimalam hari setelah semua pekerjaan selesai dan sudah pulang kerumah, lalu aku ingin melepas rindu dengan Aghnia, aku harus menelan kecewa ketika salah satu dari mereka ada yang bilang, "Ar, Aghnia sudah tidur" dan dari sini, aku hanya bisa memandangi wajah cantik putriku yang mungkin sedang menjelajahi mimpi indahnya melalui video call.
Rasanya, susah sekali ingin sekedar menyapa pada sumber penyemangatku. Kalau saja aku bisa mengeluh, aku mengeluh atas diriku sendiri. Ayah macam apa? Yang lebih banyak waktu bersama kerjaan yang tiada henti, dan baru bisa menghubungi anak dimalam hari? Kalau beruntung, bisa sedikit menyapa Aghnia melalui video call, kalau sedang tidak beruntung, aku hanya bisa bertanya mengenai Aghnia dan perkembangannya kepada orangtuaku atau mertuaku yang sedang bergantian menjaga Aghnia disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Arkendra, Si Duda Anak Satu
Romansa-On Going- Hampir 1 tahun yang lalu, takdir benar-benar mengoyak hatinya. Arkendra harus menerima ketika dokter berkata, "Maaf pak Arkendra, dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa istri bapak tidak bisa kami diselamatkan, dari lubuk hati yang...