TUJUH

15.9K 624 3
                                    

"Anak Ayah sudah cantik, ayo kita bertemu Ibu ya. Sudah 2 minggu ini Ayah terlalu sibuk, jadi belum bisa ajak Aghnia ke makam Ibu. Maafkan Ayah ya Nak" kataku sambil mengajak bicara Aghnia yang baru saja selesai mandi.

"Sudah siap, Ar?" Tanya Ibuku,

Aku mengangguk, "Sudah Bu. Kita berangkat sekarang, mumpung belum terlalu panas, Bu"

Lalu kami bertiga melakukan perjalanan menuju makam Nafisa. Seperti biasa, aku selalu menyempatkan untuk membawa bunga-bunga yang cantik untuk menghiasi makam Nafisa. Karena, semasa hidupnya Nafisa sangat menyukai bunga, dan sampai sekarang masih banyak tanaman bunga yang sejak dulu ditanam olehnya.

"Assalamualaikum sayang, aku datang bersama Aghnia juga Ibu" lalu aku berjongkok disamping makamnya sambil memangku Aghnia,

"Aghnia, Ibu ada didalam sana. Ayo kita berdoa bersama-sama agar Ibu selalu diampuni segala dosanya, dilapangkan dan diterangkan kuburnya, juga diterima disisi Allah SWT ya Nak"

Aghnia menatap makam Nafisa, dan tiba-tiba menangis. Seolah-olah ikatan batin antara Aghnia dengan Nafisa sedang berjalan. Mungkin, Aghnia merasakan kehadiran Ibunya disini.

Ibuku terisak ketika Aghnia menangis, "Ibu tidak kuat, Ar. Maaf, Ibu menangis lagi"

Kalau saja boleh jujur, akupun merasakan kesedihan itu. Tapi, aku berusaha kuat didepan mereka. Kalau saja aku menangis, suasana dimakam Nafisa akan terkesan sedih.

"Bu, jangan nangis lagi. Ini sudah takdir. Sekarang tugas kita, terus menjalankan hidup sesuai dengan takdir-Nya. Sekarang kita pulang, sudah mulai panas. Kasihan Aghnia. Minggu depan kita kesini lagi ya, Bu"

Aku, Aghnia, orangtuaku, juga mertuaku harus saling menguatkan. Kehilangan Nafisa dalam 1 tahun terakhir ini masih menyisakan luka yang amat dalam bagi kami. Teruntuk Nafisa disana, tenang dan berbahagialah disisi-Nya. Aku disini tetap berusaha mengukir senyuman mereka, orang-orang yang aku dan kamu cintai.

Entah kenapa, akhir-akhir ini Mama mertua selalu mendesakku untuk membuka hati lalu memulai kehidupan yang baru. Semenjak obrolan kami beberapa minggu silam, setiap harinya Mama selalu menanyakan hal yang sama.

"Kalau kamu bingung, Mama bisa kenali dengan beberapa anaknya teman Mama, Ar. Mama ingin melihat kamu memulai kehidupan yang baru, dan Aghnia mempunyai sosok Ibu yang sesungguhnya, Ar"

"Iya, Ma. Arkendra coba. Tapi, semuanya tidak bisa secepat itu. Status Arkendra yang duda anak satu ini belum tentu bisa diterima begitu saja dengan beberapa wanita yang nantinya dekat dengan Arkendra. Lalu, Arkendra juga harus benar-benar mempertimbangkan siapa dan yang seperti apa yang cocok untuk menjadi Ibu sambungnya Aghnia"

"Mama doakan yang terbaik untuk kamu dan Aghnia. Semoga Allah memberikanmu jodoh yang tepat, dan memberikan Ibu sambung yang tulus juga sayang pada cucu Mama. Mama ikhlas, jika cepat atau lambat ada yang menggantikan posisi Nafisa untuk kalian berdua. Gapai kebahagiaan itu Ar, Aghnia semakin hari semakin besar, pastinya akan membutuhkan sosok Ibu dalam kehidupannya"

***

"Arkendra" sapa seseorang dari arah belakangku.

Aku menoleh, lalu mendapati wanita yang menanggilku barusan, "Ya?" Jawabku.

"Apa kabar?" Tanyanya,

Aku masih bingung dan berusaha mengingat siapa wanita yang memanggilku, "Baik. Mohon maaf sebelumnya, saya berbicara dengan siapa ya?"

"Kamu lupa? Saya Adina" katanya menyebutkan nama, tetap saja aku masih lupa.

"Adina?" Aku mengulang namanya sambil berusaha mengingat,

Kisah Arkendra, Si Duda Anak Satu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang