EMPAT BELAS

8.3K 423 11
                                    

Aku memilih untuk berpamitan pulang ketika suasana disini semakin tidak kondusif. Mami-nya Adina selalu berbicara dengan nada tinggi juga perkataan yang tidak enak, Papi-nya Adina hanya bisa menenangkan dan memberi teguran ketika istrinya berbicara hal yang kurang pantas, ditambah lagi Adina yang terus menerus menangis selama Mami-nya beebicara. Dan aku? Hanya orang lain yang memperkeruh suasana keluarga kecil ini, apa kedatanganku kesini salah? Atau statusku saat ini yang menjadi suatu kesalahan dimata mereka?

Menjadi seorang duda adalah takdir. Suatu hal yang tidak mudah, apalagi anakku masih sangat kecil saat ini. Kalau saja bisa memilih takdir, mungkin aku memilih agar Nafisa bisa kembali lagi lalu menjadi keluarga kecil yang bahagia. Tapi apa daya, hidup tidak bisa semua harus sesuai dengan apa yang diinginkan, terkadang kita harus merasakan pedih dan kebahagiaan itu akan tercipta, aku percaya itu.

Setelah pertemuan malam itu Adina berkali-kali meminta maaf atas perlakuan orangtuanya padaku. Sungguh, tanpa Adina meminta maaf pun aku sudah memaafkannya, bahkan tidak marah sama sekali. Mungkin, tidak menerimanya orangtua Adina padaku adalah kerikil demi kerikil yang harus kami lalui untuk mencapai apa yang kami mau.

Adina, asal kamu tau. Aku membuka hati untukmu bukanlah hal yang mudah. Dulu, saat masa sekolah hatiku dibuat patah karena kepindahanmu yang serba mendadak itu, lalu kita bertemu lagi beberapa tahun setelahnya dan dengan kondisiku yang berbeda. Dan kini, membuka hatiku lagi untukmu bukan sekedar aku bisa meraihmu lagi lebih dekat, melainkan banyak proses yang aku lewati hingga aku berada di tahap semantap dan seyakin ini untuk menjalani hubungan yang serius denganmu.

Masalalu ku bukan sekedar masalalu yang secepat kilat bisa dilupakan. Namun, semuanya sudah takdir kalau semua moment indah bersama Nafisa harus lenyap begitu saja. Yang aku bingungkan, kenapa statusku duda beranak satu ini harus dipermasalahkan? Selama ini aku nyaman dan menikmati dengan statusku ini, malah aku bersyukur dititipkan Aghnia sebagai pengganti Nafisa yang sudah tiada, karena setiap aku melihat Aghnia tersenyum, saat itu juga aku seperti melihat Nafisa tersenyum padaku.

Dan kini, aku kembali ke Jogja dengan segala kesibukanku disini. Berpisah lagi dengan anakku yang masih belum bisa aku ajak pindah kesini. Adina, asal kamu tau, kalau saja semua prosesnya mudah seperti apa yang kita bayangkan sebelum aku bertemu dengan orangtuamu, aku akan mempercepat diri untuk membuka lembaran baru denganmu juga Aghnia. Tapi memang, semua tidak melulu sesuai dengan apa yang kita inginkan, dan tugas kita kali ini mencari cara agar orangtuamu bisa menerimaku yang berduda anak satu ini.

***

Sore ini, aku mengunjungi salah satu kedai kopi yang terkenal di Jogja, untuk memenuhi permintaan seseorang yang katanya ingin bertemu denganku. Sesampainya aku didepan kedai kopi itu, aku masuk dan mencari orang yang mengajakku bertemu disini. Setelah melihat dari kejauhan, aku menghampiri mejanya lalu menyapa, "Selamat malam, Om" sapaku,

Lalu Om Herry tersenyum dan mempersilahkanku untuk duduk. "Apa kabar,Arkendra?" Tanyanya, .

"Kabar baik Om, Om apa kabar?"

"Baik, kebetulan saya sedang dinas ke Jogja untuk 3 hari kedepan, jadi saya bisa menemuimu disini. Tidak apa kan, Arkendra?"

"Tentu saja tidak apa-apa, Om"

Jujur saja, aku gugup saat ini. Bertemu dengan Papinya Adina. Jadi, 2 hari lalu ada yang tiba-tiba meneleponku, ternyata Papinya Adina menjelaskan kalau lusa akan terbang ke jogja untuk perjalanan dinas, dan Om Herry mengajakku bertemu sore ini disini.

"Arkendra, sebelumnya saya mau minta maaf atas perlakuan juga ucapan istri saya saat kamu berkunjung kerumah kami. Saya juga bingung, kenapa istri saya bisa berkata seperti itu. Mewakili istri saya, saya sangat meminta maaf"

Kisah Arkendra, Si Duda Anak Satu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang