6. Tingkah dua manusia surai hitam & pirang

357 49 16
                                    

Rutinitas tiap pagi William adalah sampai di rumah Nara sebelum gadis itu turun ke lantai satu. Rumah bertingkat dua tepat di sebelah kiri rumah Nara adalah rumah keluarga William yang telah lama kosong. Sebelum William memutuskan pulang ke Indonesia, setiap satu minggu sekali, dua orang wanita dan seorang pria yang telah disewa rutin datang untuk membersihkan rumah tersebut. Setelah William datang, hanya dua wanita yang akan datang untuk membersihkan rumah setiap pagi setelah sang surai pirang berangkat sekolah dengan berbekal kunci cadangan. Hanya butuh beberapa langkah bagi William untuk menginjakkan kaki di halaman rumah Nara. Mungkin, sekitar empat belas langkah atau lebih.

Nara menuruni anak tangga dengan tas tergantung di bahu kanan. Ia menyantap roti, lalu bergegas keluar rumah setelah berpamitan dengan William yang mengekor di belakang. Kepalanya menengadah, terkagum dengan kumpulan awan yang menghias bentangan langit, kemudian mengeluarkan ponsel.

Satu bulan bersama Nara, William sedikit hafal berbagai hal yang gadis itu lakukan. Mulai dari memotret langit, menggambar di balkon ketika malam hari, bahkan menghias buku pelajaran dengan gambar anime saat matematika atau pelajaran apa pun yang perlu menghitung.

Ketika sampai di sekolah, keduanya memasuki kelas setelah menaiki dua puluh lima anak tangga yang sering kali memancing gerutuan beberapa siswi. Nara duduk di kursi, menarik resleting tas dan mengeluarkan ponsel. Kemudian membelalak saat menatap layar. Ia tersenyum tipis, jemari lentik gadis itu bergerak lincah, menyusun kalimat yang mengalihkan fokus dari dunia nyata, menenggelamkan Nara pada komunikasi ringan dalam sosial media. Dengan embusan napas kecewa, diletakkan ponsel di dalam loker meja ketika guru matematika mereka tiba.

"Ai, nanti sore temenin belanja makanan buat stok di rumah. Nanti aku beliin yang kamu mau," bisik William. Retriever pirang itu yakin ajakan -walaupun lebih terdengar seperti sebuah perintah- yang ia lontarkan takkan berakhir dengan penolakan pahit.

Nara menoleh, binar di mata gadis itu terlihat jelas. "Serius?"

William mengangguk, diikuti Nara yang antusias menerima.

Ethan yang menerima informasi dari sang telinga menoleh dengan alis tertaut. "Ikut."

William melotot lebar-lebar. "Nggak ada yang ngajak."

"Maaf, tapi kamu nggak ada hak buat protes." Ethan menyeringai.

"Ngajak berantem?" tawar William dengan senyum manis yang tersungging.

"Nggak. Bisa-bisa kamu bonyok, nangis, habis itu ngadu ke mama kamu." Ethan menyeringai, menikmati raut wajah shock William. William membalas, perang bisikan di antara kedua makhluk itu tak dapat dicegah.

Keributan yang terjadi terdeteksi oleh bulu tengkuk pak Joni yang bergerak meliuk mencari sumber suara. "Hei, kalian berdua! Yang di belakang sana, udah nggak betah ikut kelas saya? Mau saya hukum lari keliling lapangan?!"

Kedua makhluk yang merasa terpanggil seketika menoleh. Baik William maupun Ethan menatap pak Joni dengan raut keheranan. "Kenapa, Pak?" tanya keduanya tanpa berpikir panjang.

"Apa saya yang harus keluar dan keliling lapangan?" tanya pak Joni.

Ethan mengangguk berulang kali. "Ide bagus, Pak."

Pak Joni terdiam. Diam-diam, tangan pria itu meraih penghapus papan hitam kecil yang digunakan untuk menulis dengan kapur putih. "Benar juga, kenapa bukan saya?"

Satu kelas terdiam, otak mereka terasa terprogram ulang detik itu juga. William dan Ethan mengangguk bersamaan, bangga karena teranugerahi otak cemerlang layaknya piring setelah digosok mama lemon.

Sedetik kemudian, tepat setelah Ethan cengar-cengir, penghapus papan di tangan pak Joni melayang jauh, menghantam telak dahi Ethan yang tertutup rambut, mengubah hitam menjadi putih. Laki-laki itu histeris, kedua telapak tangannya tergerak membersihkan rambut yang dirawat seperti anak sendiri.

"KELUAR KALIAN BERDUA, ANAK MANUSIA! LARI SEPULUH KALI KELILING LAPANGAN!" titah pak Joni, berkacak pinggang dengan muka merah berhiaskan amarah.

William bergegas beranjak dari kursi, disusul Ethan yang menggaruk belakang telinga.

"Ayo ikut, Pak! Biar Bapak sehat, punya 'kotak-kotak'. Nanti bisa dijadiin bahan menggambar anatomi tubuh manusia!" usul Ethan, menggamit lengan pak Joni yang tak dapat menyembunyikan raut terkejutnya dengan tingkah laku sang anak didik.

"Bosan hidup jangan ajak-ajak aku." William menyeret kerah baju Ethan keluar kelas, melarikan diri sebelum hal buruk menimpa mereka.

Dari ambang pintu, Ethan melongok ke dalam kelas, tersenyum lebar. "Kalau berubah pikiran, kita tunggu di lapangan, Pak. Kalau di lapangan nggak ada, tolong cari di kantin." Laki-laki itu berlari dari sepatu kiri pak Joni yang menghantam pintu kelas sembari terbahak.

Aoi'Nara'n [2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang