Harum masakan menyebar, dentingan alat masak memenuhi seisi ruangan. Nara menopang dagu, William dan Ethan melakukan hal yang sama. Netra ketiganya mengikuti gerakan Fika yang bergerak kesana-kemari dengan gesit, memasak berbagai makanan dan beberapa kue choco lava sekaligus. Lulusan jurusan "baking and pastry art" yang lebih memilih menjadi ibu rumah tangga itu berseri-seri ketika menyusun kue di atas piring dengan potongan Raspberi.
"Ai," bisik William. "Kemarin, aku udah makan kue banyak. Kenapa hari ini bikin lebih banyak lagi?"
Nara balas berbisik. "Yang kemarin itu percobaan. Ini yang serius." Ia melirik Fika yang membuka buku resep, mencari resep kue lain. "Hari ini, kakak pulang."
William terperangah. Mengingat Kuma, kakak laki-laki Nara yang memutuskan tetap berada di Jepang selama dua tahun masa kuliah tanpa pulang satu kali pun. Hari ini, pasti akan menjadi hari spesial bagi Fika.
Ethan menggeser kursi, mendekat pada ayah Nara yang duduk sembari menikmati salah satu kue choco lava yang telah jadi. Perlu Nara dan William akui, Ethan memang memiliki bakat adaptasi yang cepat. Laki-laki itu mampu menyesuaikan diri dengan ayah Nara dalam kurun waktu kurang dari tiga menit.
Pupil William bergetar saat Fika menyodorkan sepiring choco lava dengan hiasan aesthetic ke arahnya. Ia melirik Nara yang pura-pura tak melihat. "Ai, help."
Nara bergegas berdiri, mengambil gelas tinggi, lalu mengisi air hingga penuh. Gadis itu mengisi perut kembali dengan air setelah isi gelas pertama selesai ditelan. Gugup, Nara terus meminum air hingga merasa kenyang, lalu mual. Ngeri membayangkan jika sang mama juga menyodorkan kue super manis untuknya. Ia meringis melihat William dengan tangan gemetar menyuapkan sesendok potongan kue ke dalam mulut.
"Ethan mau nyobain, nggak?" tawar Fika, mengangkat sepiring kue choco lava lain yang telah ditata sebaik mungkin. Kali ini, menggunakan taburan gula halus dan potongan strawberry.
Nara tersenyum kikuk saat Ethan dengan senang menerima. Gadis itu tak dapat membayangkan tingkat kemanisan kue yang dilahap Ethan. Netranya bertubrukan dengan kue choco lava besar yang dihiasi taburan gula halus, daun mint, dan potongan strawberry. Itu ... kue kesukaan Kuma. Kakaknya menyukai segala sesuatu yang terasa manis, laki-laki itu berkebalikan dengan Nara.
"Nara."
Nara menoleh, berjalan mendekat. "Ya, Ayah?"
Ayah Nara tersenyum. "Panggil temanmu yang lain. Mamamu memasak terlalu banyak."
Nara berpikir keras. Setelah pikirannya berkeliling terbang melintasi galaksi dan lintasan planet, gadis itu mengangguk, menemukan satu nama. Ia segera berlari ke ruang depan, menaiki tangga, dan masuk ke dalam kamar. Ponsel di atas ranjang disambar, rentetan angka ditekan hingga terdengar sambungan telepon. "Halo?" Nara menggigit bibir. "Kamu ... sibuk, nggak?"
•••
Sembari memasang flat shoes merah muda setelah menggunakan kaus kaki, ia berkaca, mengamati setelan baju santai yang dikenakannya. Fay berlari ke depan rumah, masuk ke dalam mobil.
"Arah mana?"
Fay memeriksa ponsel, menoleh ke samping, mengarahkan layar ponsel ke arah laki-laki berkemeja putih. "Nara ngundang kamu juga, Kai."
Kairav menyalakan mesin mobil, tersenyum. "Maaf, aku nggak bisa. Ada janji."
"Dia?" tanya Fay, membenarkan rambut berulang kali. Memastikan dalam kondisi sempurna untuk berhadapan dengan Nara.
Kairav mengangguk. "Aku mau keluar sama Adisti hari ini," ujarnya malu-malu.
Fay tertawa, tergelak mengamati reaksi Kairav yang memendam perasaan sejak lama. "Kamu udah 'bilang' ke Adisti?"
"Udah," sahut Kairav. "Sehari sebelum dia patah hati."
Fay menggeleng, berdecak. Mereka berdua hanya diam sepanjang perjalanan. Gadis itu membuka pintu mobil saat mereka telah sampai di rumah dua lantai dengan pintu gerbang terbuka lebar, seakan telah menanti kedatangannya. "Nanti aku pulang sendiri. Makasih, Kai. Maaf, kamu harus bolak-balik."
"Nggak masalah, aku sekalian ke suatu tempat sebelum jemput Adisti."
Fay mengetuk pintu, gadis itu tersenyum lebar saat mendapati Nara berlari ke arahnya. "Hai."
Nara berdiri menyamping, mempersilahkan Fay masuk ke dalam rumah. Merasa canggung saat berjalan beriringan. Gadis itu mengarahkan Fay untuk duduk di ruang tamu, lalu berlari ke arah dapur, kembali dengan menyeret lengan William dan Ethan. "Temani Fay. Aku ... bingung harus apa," bisiknya pada William dan Ethan, lalu berlari ke dapur.
•••
Laki-laki dengan topi putih dan setelan serba putih, kecuali jeans yang dikenakannya turun dari dalam mobil setelah membayar dan mengeluarkan koper. Ia berjalan memasuki rumah dengan menyeret koper hitam besar. Aroma kombinasi cokelat dan berbagai menu lain membuatnya menahan tawa. "Mama pasti masak banyak. Apa seharusnya tiga hari lalu aku nggak ngasih tahu kalau pulang?"
Ia memasuki rumah, mengernyit mendapati tiga anak manusia yang duduk di ruang tamu, mengenyahkan pemikiran bahwa rumah tempat ia bertumbuh besar telah berubah menjadi playground para remaja. Laki-laki itu tersenyum lebar saat mendengar teriakan seseorang. "Kakak pulang." Beberapa detik kemudian, ia mengelus perut, kesakitan usai menerima pukulan.
Nara berkacak pinggang. "Udah berapa maid cafe yang kakak kunjungi dua tahun belakang di Akihabara selama ini? Jangan pikir Nara nggak tau." Ia mengangkat tangan, membentuk tangan kucing. "Nyan-nyan, Kak?"
Kuma tertawa, laki-laki itu berjongkok, membuka koper, mengeluarkan kotak kecil berwarna oranye.
Nara tersenyum malu-malu, meraih kotak berisi action figure di tangan Kuma. Setelahnya, gadis itu mendekat, mengusap perut sang kakak yang sempat ia aniaya.
Kuma melangkah menuju dapur. Setelah bertemu dengan kedua orang tua dan mendapat beribu serangan pertanyaan, laki-laki itu kembali ke depan dan menghampiri Nara yang tengah bersama sekumpulan manusia. "Teman kamu?"
Nara mengangguk. Memilih meng-unboxing action figure yang Kuma berikan.
Netra Kuma segera melakukan scan terhadap ketiga manusia yang terperangah. Laki-laki itu shock saat dua manusia dengan rambut pirang dan hitam pekat menggelantungi kakinya dengan mata berbinar. "Nara, kenapa dua teman 'tuyul' kamu ini?"
Nara terperanjat saat Fay tiba-tiba berdiri di sampingnya, menatap lekat Kuma yang risi menghadapi dua anak 'tuyul' pirang dan hitam.
Fay berdecak kagum menatap Kuma yang keheranan. Sindrom "gebet cogan" gadis itu kambuh. Laki-laki tinggi dengan kulit kuning langsat bersih, hidung mancung, dan garis rahang tegas itu seolah menyita Fay. "Anda model, kan? Kenapa bisa tersasar kemari?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aoi'Nara'n [2020]
RomanceSebuah keinginan lahir, menyapa dan menyelimuti benak maupun hati. Dapatkah seorang gadis mempertahankan keinginan untuk mengasingkan diri? Atau justru tergagalkan oleh segala hal yang ia lalui selama sekolah menengah atas? Ainara, Aonaran. AOI 'NAR...