30. Teguran

67 20 3
                                    

"Pergunakan otakmu yang mungkin juga berwarna pirang dengan baik, William."

Ensiklopedia sains setebal 686 halaman mendarat mulus membentur kepala Ethan yang menunduk, mengamati kata per-kata yang dibaca dari buku. "Sakit!" Tangan laki-laki itu sontak terarah ke atas, memegangi kepala yang terasa berdenyut usai dihantam William.

"Pergunakan mulutmu yang kurang asin itu dengan baik, Ethan. Aku nggak mau bikin keributan dengan masukin kamu ke dalam toples." William kembali membaca. Sebenarnya, sang pirang lebih suka mengamati gambar yang tercetak dalam buku. Ia berpendapat jika gambar-gambar itu lebih menarik dibandingkan dengan deretan kata yang tersusun.

Nara melangkah mendekati rak buku perpustakaan, mencari koleksi buku fiksi yang tersedia. Jemari gadis itu meraih satu buku dengan cover berwarna velvet purple.

"Kamu yang waktu itu ketemu aku sama Alsaki, kan?"

Nara menoleh ke kiri, mendapati Alin -teman sekelas Alsaki yang pernah ia temui saat itu- berdiri sembari menenteng kamus tebal yang nampak berat. "Iya."

Alin meletakkan kamus yang ia bawa di rak paling atas, berkumpul dengan buku sejenis. "Saki udah punya Viona. Kamu tahu, nggak?"

"Tahu, Kak." Nara tersenyum. Karena itu, aku berhenti setelah tahu, pikirnya.

Alin memutar bola mata. "Kalau gitu jauhin, nggak usah malah cari masalah."

Ethan berdecak. "Tolong nggak usah berisik, ini perpus. Nara nggak ada urusan sama kakak. Emang siapanya kak Vio, sih?"

"Aku sepupu Viona." Ia berujar dengan lebih pelan. "Inget ini, Nara. Aku nggak sebodoh itu buat nggak tahu kalau kamu suka Alsaki."

William berdiri, hendak menghentikan gadis bernama Alin yang kini melangkah cepat menuju luar ruangan.

"Berhenti, William." Nara berbalik, mengamati Alin yang tersenyum pada beberapa teman sekelasnya. "Dia cuma butuh didengerin. Aku cuma harus jadi pendengar yang baik, tanpa membantah. Itu yang kak Alin mau."

•••

Sesekali, ia menganyunkan kaki. Sepatu hitam yang dikenakannya bergerak menendang udara berulang kali. "Vio."

Viona menoleh, meletakkan ponsel di atas meja. "Kenapa ngajak ketemu di kantin?"

"Ada anak kelas sebelas IPA satu yang suka sama Saki." Alin menghela napas dengan berat. "Kenapa jadi aku yang khawatir soal hubunganmu sama Saki? Sedangkan kamu santai-santai aja."

Viona terdiam, beberapa detik kemudian ia tergelak. "Cuma itu?" Gadis itu melirik Alsaki yang berada beberapa meter di depan mereka, berkumpul bersama dengan sekelompok laki-laki akselerasi. "Nggak ada yang perlu dikhawatirin."

Alin menatap tak puas. "Namanya Nara. Aku udah tanya Saki, dia bilang Nara itu teman lama dia. Nggak takut Saki malah—"

"Nggak." Viona menyela. "Semua itu tergantung benang yang tersambung. Kalau benang itu kuat, aku nggak perlu khawatir, kan?" Ia menatap punggung Alsaki yang membelakanginya dan Alin. "Lagipula, aku nggak tau apa aku sama Saki bisa sampai di titik itu. Seandainya Saki lebih pilih anak yang kamu sebut, itu hak dia. Selama aku sama dia masih belum terikat hubungan sah ...."

Alin mengangguk. "Kamu nggak punya hak buat nahan dia. Dan kamu bakal ngelepas Saki asalkan laki-laki itu ngasih kamu penjelasan dulu." Ia menoleh. "Aku benar, kan? Itu ... kamu banget."

Viona tersenyum. "Iya." Ia tertawa. "Aku nggak bisa dong, nahan orang lain buat bahagia."

•••

"Ai, aku sendirian!" William berteriak dari ujung balkon rumahnya, melambaikan tangan ke arah pintu balkon Nara yang terbuka.

Nara menutup telinga dengan bantal, berguling di atas ranjang dan menyalakan lagu karena semakin lama laki-laki surai pirang itu memanggilnya dengan brutal. Khawatir menuai protes dari penghuni rumah lain, ia menyerah, melangkah keluar balkon sembari menggenggam erat bantal di tangan kiri. "Kutimpuk, ya?"

William terkekeh, lalu memasang raut wajah murung. "Aku sendirian di sini."

"Nggak peduli. Jangan berisik, William. Walaupun masih sore, tetangga bisa protes nggak peduli kamu bule famous di sini atau nggak." Ia berjongkok, mengelus Jack yang mengeong.

Bibir laki-laki pirang itu mengerucut. "Aku nggak nyesal sih, minta sekolah di Indonesia. Tapi, rumah sebesar ini kutinggalin sendirian, mana aku harus ngurus semua sendirian juga. Ya ... walaupun saudara dari mama kadang ke sini." Ia melirik Nara, malu-malu bagaikan anak kucing. "Pilih aku aja, Ai. Jangan sama Ethan. Nanti, kita pindah ke luar negeri."

Nara mengangkat Jack, menekan pelan telapak kaki depan kucing hitam itu hingga sebuah kuku tengah yang belum terpotong mencuat keluar. Gadis itu tersenyum menyeringai.

William tergelak, masuk ke dalam rumah sembari menahan tawa. "Pengin kumasukin toples."

Aoi'Nara'n [2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang