Ia menuruni tangga dengan tergesa, menggendong Jack yang berulang kali mengeong memberontak, berusaha mencakar dengan kuku yang telah terpotong. Nara mempercepat langkah saat berada di ujung tangga, menurunkan Jack, lalu berlari kecil ke arah dapur. Gadis enam belas tahun itu melongok ke dalam kulkas, mengambil sekaleng nescafe latte, lalu terperanjat saat berbalik ke belakang.
"Jangan bergadang," tegur Fika, mengisi air dari dispenser ke dalam gelas.
Nara terkekeh, mengangkat kaleng kopi, dan memandanginya sejenak. "Mau maraton anime, mama. Mumpung besok hari Sabtu, nggak perlu ke sekolah." Ia berlari menuju tangga, membuka pintu kamar yang tertutup, lalu meletakkan kaleng nescafe ke atas nakas. Nara berjalan ke arah meja belajar, memungut laptop silver beserta ponsel hitam yang ada di atasnya, dan naik ke atas ranjang. "Akhirnya!" Kedua tangan gadis itu ditarik ke atas, meregangkan badan sebelum mengubek-ubek file berisi tumpukan anime.
Ia meluruskan kaki, memangku laptop dengan jemari yang berusaha membuka penutup kaleng kopi. Setelah berusaha membuka dengan segenap kesadaran, Nara menenggak nescafe latte, meletakkan kaleng dengan sisa separuh isi ke atas nakas. Mata gadis itu melirik layar ponsel yang sebelumnya mati, kini menyala. Dengan perlahan, ia menjulurkan tangan, menatap layar ponsel dengan pandangan tak terbaca. "Pesan dari operator." Ia berdecak setelah membaca isi pesan. "Bisa-bisanya operator tau aku lagi nyoba move on, dan dengan teganya sekaligus nawarin paket kuota."
Ponsel yang ia genggam kembali tergeletak miris, terabaikan oleh sang pemilik yang kini menekan tombol play dalam laptop, menatap penuh minat ketika anime yang masuk ke dalam list anime favorit telah dimulai. Nara terkagum, binar mata gadis itu kian terang saat main character muncul. "Waah!"
•••
"Ai, bangun. Maaf, aku masuk waktu kamu masih tidur. Tapi, tante yang nyuruh. Katanya, kamu baru tidur jam setengah lima pagi."
Nara menepis tangan besar yang menoel pipinya, mengernyit kesal dengan terpejam. "Ngantuk, dua jam lagi."
"Ini jam sembilan pagi. Aku disuruh bangunin." William merogoh ponsel dari dalam saku, memutar lagu berisi rap penuh. Ia tersenyum geli ketika Nara menutup kedua telinga, lalu dengan enggan membuka mata. Sang pirang tahu betul Nara tak menyukai rap.
"William." Nara membuka mata, memegangi kepala begitu pusing menyergap ketika duduk secara langsung setelah membuka mata. "Kamu harus dirukiah." Ia menguap, meraih sebuah bantal, lalu melempar tepat mengenai wajah laki-laki itu.
William meringis, menyambar ponsel cepat sebelum Nara berniat menghapus lagu rap yang sengaja ia simpan dalam ponsel. Berjaga-jaga sewaktu-waktu jika ia membutuhkannya.
Nara berdiri, mengernyit saat William membuka tirai, mempersilahkan cahaya mentari menyergap masuk ke dalam kamar Nara layaknya paparazzi. Ia memukul punggung William. "Aku butuh Ethan buat nyembur kamu pakai kuah mie." Gadis itu menuruni tangga, diikuti William yang mengekor dengan semangat. Sesekali ia menguap, mengucek mata, dan menunduk, memastikan jika yang ia pijak adalah anak tangga, bukan berhalusinasi melangkah di udara.
"Putri mahkota telah memasuki ruang makan." Ayah Nara menarik kursi, membiarkan putri bungsunya itu duduk di sana, lalu kembali terfokus pada laptop.
William duduk di depan Nara yang merebahkan kepala di meja makan. Ia menatap kasihan pada Nara yang memejamkan mata berulang kali. "Ngantuk banget?"
Nara mengangkat jempol ke udara dengan sepenuh tenaga. Ia lemas, untuk menyahuti saja terasa sangat malas. "Jangan ikut ngomelin aku, William. Itu bagian mama." Tangan gadis itu kembali turun, menggantung di udara dengan kepala bersandar pada meja makan.
"Udah mama bilangin, kan. Nara nggak nurut." Fika datang, meletakkan sepiring gudeg ke atas meja.
Nara membuka mata. "Maafkan ananda, Ibunda Ratu." Ia menegakkan badan, bersandar pada kursi. "Kantung mata Nara kalau ditekan sakit." Nara menekan perlahan bagian bawah mata, bibir gadis itu mengerucut tak senang.
Ayah Nara menarik kantung teh dari dalam gelas, meletakkan kantung itu di atas tatakan, lalu disodorkannya di depan Nara. "Kompres pakai ini. Nanti tidur lagi aja."
Nara mengangguk, menyibak rambut, bersiap menempelkan kantung teh yang telah diperas.
William tersenyum ragu. "Kamu mau tidur?" Ia mengalihkan pandangan dari Nara. "Tapi, tadi Ethan kirim pesan. Dia ngajak main di luar."
Nara mendongak, melotot bulat-bulat ke arah William yang memudarkan hawa keberadaannya sendiri. "Batalin." Ia menguap. "Bilang ke Ethan, besok aja. Mataku berat banget. Curiga ada dua puluh lima ton gajah yang bersarang di kelopak mataku."
"Dan masing-masing dari mereka mengeluarkan satu kilo sisa pencernaan," sahut William."
Nara mengangguk. "Pintar, aku bangga sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aoi'Nara'n [2020]
RomanceSebuah keinginan lahir, menyapa dan menyelimuti benak maupun hati. Dapatkah seorang gadis mempertahankan keinginan untuk mengasingkan diri? Atau justru tergagalkan oleh segala hal yang ia lalui selama sekolah menengah atas? Ainara, Aonaran. AOI 'NAR...