32. Telepon malam

69 16 3
                                    

Ethan menunduk, meletakkan sepasang sepatu yang dikenakan di rak, lalu melempar tas ke arah sofa setelah memungut sebuah paket dari dalam sana. "Bunda! Ethan pulang bawa makhluk berambut pirang sama satu anak manusia."

"Kak Ethan!" Seorang remaja berusia sekitar empat belas tahun berlari menubruk Ethan, melingkarkan lengan pada pinggang laki-laki itu. "Ayo main game! Smoothie bowl pisang sesuai request kakak kemarin, Jasmin taruh di kulkas." Ia mengintip ke belakang, memandangi William dan Nara. "Oleh-oleh, tapi nggak bisa dimakan. Apa ini semacam suvenir?"

Ethan menyentil keras dahi Jasmin hingga gadis itu memisahkan diri, berjongkok sembari mengelus dahi. Ia menoleh ke belakang. "Ayo, di atas aja. Di sana lebih damai."

"Kak Eth!" Jasmin berdiri dengan pipi menggembung. "Kakak nggak main sama Jasmin?"

Ethan menggeleng, mencubit hidung Jasmin. "Besok aja mainnya." Ia melepas Jasmin, lalu berlari menuju tangga, diikuti dengan Nara dan William. "Smoothie kakak jangan kamu makan, Jasmin!"

Ketiga manusia itu duduk beralaskan karpet saxony. Ethan meletakkan buku paket matematika ke atas meja, menatap Nara yang menggenggam pensil 2B dan William yang telentang di atas karpet. "Gue teleponin pak Joni."

Pemilik surai pirang itu lekas duduk, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Mentalku nggak siap belajar matematika. Aku lapar, lelah, dan nggak bertenaga." William menghela napas. "Ai, pulang aja, yuk."

Ethan melepas seragam, T-shirt hitam menggantikan sang seragam untuk membingkai tubuhnya. "Aku juga capek habis pulang sekolah nggak bisa langsung rebahan." Ia melempar bantal sofa ke arah William. "Nggak usah banyak alasan, William. Aku tau kamu cuma malas. Tadi sebelum ke rumahku, kita kan udah mampir dulu buat makan."

"Karena kamu tau, aku nggak perlu sandiwara lagi." William kembali merebahkan diri, menggunakan bantal yang Ethan lempar sebagai alas kepalanya. "Than, aku malas. Ajarin Nara aja, aku mau rebahan."

Ethan mengalah, membuka buku paket, membolak-balik halaman, mencari materi yang akan segera ia ajarkan pada Nara.

Nara melirik William, tangan kiri gadis itu turun dari atas meja, mengacak rambut William lalu menariknya. "Pemalas." Ia mengabaikan William yang mengaduh, menyimak Ethan yang tengah memberi penjelasan mengenai rumus-rumus dan cara mengerjakan latihan soal yang tersaji di dalam buku paket. Gadis itu mengangkat kedua tangan dengan raut muak setelah beberapa menit bertahan. "Aku mau pulang, Jack pasti udah nungguin." Sembari menghindari tatapan menyelidik Ethan, Nara menepuk pundak William yang berbaring. "Ayo pulang, Will." Ia tersenyum ke arah Ethan. "Makasih. Tapi, ternyata otakku juga tipe otak pemalas."

"Kak Ethan!" Jasmin berlari dari arah tangga, meletakkan ponsel ke atas meja. "Kakak, liat! Ganteng banget, kan?"

Ethan melirik layar ponsel Jasmin, diikuti Nara, dan William yang baru saja duduk tegak. Jasmin tampak begitu gembira, bernyanyi sembari berjingkrak-jingkrak seakan menemukan separuh jiwa yang telah lama hilang.

Kakak dari satu adik itu menggaruk leher, tertawa canggung saat Nara dan William terperangah atas sikap Jasmin. "Adikku ... kpopers akut."

•••

"Jack, kucingku yang ganteng tujuh turunan."

Nara memainkan ekor panjang Jack yang meringkuk. Ia menyambar ponsel, membuka aplikasi berwarna hijau, lalu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. "Satu jam lagi."

Saat ia meletakkan ponsel ke atas nakas, benda persegi panjang itu berdering keras. Nara kembali menyambar ponsel, menekan accept setelah mengatur napas saat mendapat panggilan masuk dari nomor yang tak tersimpan dalam kontak.

"Hai! Ini Nara dari sebelas ipa satu, kan?" Suara Mezzo-Soprano menyambut telinga Nara yang waswas, tak terbiasa mengangkat telepon dari seseorang yang tak dikenali.

Nara mengangguk. "Iya."

Terdengar suara kekehan dari seberang. Gadis itu terlonjak, mengira sekumpulan 'ibu-ibu' PKK berdaster putih bosan karena kurang kerjaan, lalu berbuat jahil dengan meneleponnya malam-malam.

"Besok ketemu, yuk. Aku ke kelasmu waktu istirahat." Penelepon itu berhenti terkekeh. "Aku Viona."

Malam itu, rasa khawatir bercampur dengan rasa takut telah berbuat kesalahan menjadi dongeng pengantar tidur bagi gadis yang meringkuk di balik selimut, Nara.

"Yang tadi telepon ... benaran bukan makhluk halus, kan?"

Aoi'Nara'n [2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang