"Ibu, obati saya. Pernapasan saya tercemar oleh gas pembuangan milik bapak matematika." William merangkak mendorong pintu UKS yang berwarna putih.
Guru UKS yang sedang memainkan ponsel mendadak berkomat-kamit ketika netranya menangkap William, mengira laki-laki itu adalah kembaran sadako yang terpisah.
William masuk ke salah satu kamar terdekat, menaiki ranjang UKS. "Ibu ... saya keracunan."
Merasa murid dengan rambut pirang itu mengalami kesakitan luar biasa -terbukti dengan wajah William yang tampak menahan sakit- guru UKS segera mendekatinya. "Kamu makan sesuatu?"
William menggeleng. "Saya menghirup udara tercemar yang bapak Joni keluarkan secara khusus begitu beliau lewat di depan saya." Ia terbatuk, memejamkan mata. "Paru-paru saya menolak eksistensi udara yang saya hirup."
"Pirang!"
William urung menutup mata. Kini, ia tersenyum lebar pada Nara berlari memasuki ruangan.
"Perutnya belum meledak, kan?" Nara berujar cepat.
Ethan muncul di ambang pintu, berdiri di samping William, lalu menepuk perut laki-laki pirang itu dengan sengaja. "Ini bukan masalah kok, Bu. William berlebihan."
"Aku keracunan gas kentut pak Joni! Napasku ..." William mendalami akting, berlagak seolah kesulitan menghirup udara hingga guru UKS mengerutkan dahi.
"Alasan." Ethan meremas perut William. "Jangan khawatir. Ibu duduk aja, biar kami yang mengurus pirang kurang waras ini. "
Guru UKS tampak ragu, tetapi kemudian mengangguk. "Tolong jangan berisik."
Setelah guru UKS keluar kamar, Ethan menarik kursi untuk ia sendiri dan Nara. "Kamu harusnya hirup kentut pak Joni sampai habis. Jangan disisain, nggak usah berbagi gitu. Aku sama Nara ikhlas kamu hirup semuanya."
William meraih kayu putih yang disodorkan Nara. "Kurasa ... pak Joni punya maksud terselubung."
"Pak Joni muak liat mukamu. Kalian berdua selalu cari masalah sama beliau," sahut Nara.
William mendengus. Ia memejam, lalu kembali membuka mata begitu Ethan mencubit perlahan betis kanannya.
"Jangan keenakan, habis ini kita balik." Ethan menguap. "Pingin tiduran juga."
Nara bersedekap. "Jangan lama-lama, William. Jam pelajaran pak Joni bentar lagi selesai. Guru mapel lain bakal masuk."
Ethan mengibaskan tangan. "Nggak perlu khawatir, Nara. Aku bisa atasin para guru."
William menarik bantal yang ia gunakan, melemparnya ke wajah Ethan hingga laki-laki itu terbatuk karena debu dari bantal. "Arogan. Makan tuh bantal aroma minyak white wood!"
"Parah, ini bantal peninggalan firaun atau tempat penangkaran debu." Ethan mengomel, beralih pada William yang bersandar di dinding. "Kamu harusnya bersyukur karena bisa dapetin kentut premium pak Joni. Itu artinya, kamu dipercaya sebagai tester pertama."
Kali ini William melempar kaos kaki yang ia kenakan, memancing jiwa Ethan yang segera melangkah maju, membekap wajah sang pirang dengan bantal. William tak mau mengalah, menendang ke sembarang arah hingga Nara memutuskan untuk mundur dan berdiri di dekat pintu kamar, menjauh dari kedua makhluk yang baku hantam secara 'halus'.
Kali ini William memanfaatkan segala anggota tubuhnya. Ia menjambak rambut Ethan hingga kepala laki-laki itu tertarik ke depan. Ethan meringis, namun masih mempertahankan tangan untuk menutup wajah William.
"Tahan napas atau gimana?! Udah berapa lama kusumpet hidung empat puluh lima derajatmu itu, kamu nggak batuk-batuk kena aroma spesial bantal busuk ini." Ethan tak menyerah. Kali ini, ia mengomel karena William mencoba menampar pipinya.
Suara ketukan pintu berhasil menghentikan perang antara Ethan dan William. Melihat guru UKS yang berdiri di ambang pintu, dengan Nara yang mengintip dari balik bahu guru UKS, Ethan segera menarik bantal yang menutup wajah William, disambut dengan William yang sontak meraup udara bersih.
"Bukan aku." Nara berujar tanpa suara, menyilangkan tangan membentuk huruf X besar untuk menunjukkan bahwa ia tak terlibat dalam berdirinya guru UKS dengan raut wajah masam.
Guru UKS mengangkat sebuah lakban berwarna merah muda. "Demi kemaslahatan hidup bersama, tolong diam sebelum mulut kalian teraniaya oleh lakban ini."
Ethan dan William mengangguk, mengembuskan napas ketika guru UKS berlalu, menyisakan mereka berdua dan Nara yang berjalan mendekat.
"Gara-gara siapa?" William mendengus.
Ethan memicing. "Kamu harusnya bersyukur kena radiasi kentut pak Joni."
Nara memiringkan kepala. "Emang kenapa?"
Bantal yang ia pegang terlempar ke arah William, Ethan bersedekap. "Karena produk hasil buatan pantat pak Joni, berkhasiat tinggi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aoi'Nara'n [2020]
RomanceSebuah keinginan lahir, menyapa dan menyelimuti benak maupun hati. Dapatkah seorang gadis mempertahankan keinginan untuk mengasingkan diri? Atau justru tergagalkan oleh segala hal yang ia lalui selama sekolah menengah atas? Ainara, Aonaran. AOI 'NAR...