Sumber suara dari papan tulis yang terketuk menggunakan spidol hitam menarik perhatian seisi kelas. Adisti berdiri di depan papan tulis, menggoreskan tinta spidol hingga membentuk daftar nama. Ia berbalik saat selesai dengan urusan di papan tulis, meletakkan spidol di meja guru, lalu mengamati seisi ruangan.
Dhafa mengacungkan tangan ke atas. "Apa?"
"Yang merasa nama kalian ditulis di papan, dimohon secara sadar, bayar kas." Adisti berjalan ke bangku tengah, mengambil buku kas dari Fidelya.
Ethan bersandar di kursi, mengeluarkan botol minuman dari dalam tas. Ia menenggak air sembari melirik William yang menggunakan AirPods di satu sisi telinga, lalu menutup botol minum. "Dengerin lagu apa? Rock?"
"Bukan," sahut William, masih membolak-balik novel anime yang dipinjamnya dari Nara semalam.
"Terus?" Ethan mengamati beberapa orang yang 'dirampok' oleh Adisti dan Fidelya, 'Debt collector' ganas kelas mereka.
William mengernyit. "Celana."
Ethan beranjak dari duduk, berdiri di belakang William, lalu mengapit leher sang pirang dengan lengan. Mempertahankan posisi saat William mulai berontak dengan meletakkan novel ke atas meja, lalu mencubit anggota tubuh Ethan. "Yang kumaksud bukan rok, tapi rock! Otakmu harus direparasi!"
Nara menggeleng, menelungkupkan wajah ke atas meja, menghadap ke dinding kiri. Ia langsung duduk tegak saat merasakan benturan keras pada meja, menoleh ke samping kanan bawah, mendapati Ethan yang terduduk di atas lantai.
Ethan meringis, mengusap punggung setelah terjatuh ke bawah dan membentur meja Nara. Laki-laki itu mengaduh saat mencoba berdiri.
"Than, guru bahasa bilang, ada sebab ada akibat. Jadi, jangan coba-coba nyalahin." William berkacak pinggang, menoleh saat mendengar keributan dari seberang.
Dhafa berusaha mengorbankan pikiran dan tenaga untuk melawan Fidelya yang mengomel. Kesulitan menaklukkan salah satu makhluk ganas penagih 'hutang'. Laki-laki itu menyambar buku di tangan Adisti yang berdiri di samping Fidelya, merobek kertas berisi data kas, dan mendapatkan sorakan dukungan dari beberapa siswa lain. Kemudian, disambut tangan Fidelya yang kini menarik rambutnya.
"Kurang asin kamu, ginjal kudanil." Ethan berdiri, membuka tutup botol minuman, menuangkan sedikit isinya ke telapak tangan, dan mencipratkan cairan itu ke wajah William.
Nara mengernyit. Sungguh, perpaduan kedua makhluk hidup yang serasi.
•••
Ethan dan William berjongkok di sudut ruangan, memutar video dalam ponsel yang Ethan pegang. Kedua manusia itu mengernyit saat seekor kucing dalam video memulai pertengkaran.
"Ngeong-ngeong itu ... maksudnya apa?" Ethan menggaruk kepala, menoleh pada William yang segera menyalakan ponsel.
William membuka google. "Bentar, kutranslate."
Nara menutup wajah dengan telapak tangan, merasa malu pada sang tuan rumah yang baru saja tiba dan meletakkan nampan dengan tiga mug merah muda berisi teh hijau di atas meja.
Fay membuka dua toples kaca. Bau kue kaasstengels yang menguar dari dalam toples menarik langkah William dan Ethan untuk mendekat. "Habisin aja, di lemari kaca masih banyak." Ia duduk di atas sofa puff kotak berwarna vienna moss. "Makasih, karena kalian mau ke rumahku."
Nara tersenyum, mengingat tiga puluh menit yang lalu ketika bel pulang sekolah berbunyi. Fay berlari menghampiri Nara, menggenggam pergelangan tangan gadis itu, dan melempar ajakan pada Nara untuk datang ke rumahnya.
Ethan mencomot satu kaasstengels dari dalam toples, mengunyah perlahan, lalu mengacungkan ibu jari ke arah Fay. "Enak, ini beli di mana?"
"Itu buatan mama." Fay tertawa. "Mama suka bikin kue, aku yang jadi 'tempat pembuangan' selama ini. Karena ... jarang ada tamu di rumah."
William mengangguk, mengambil satu toples dari atas meja, dan merapatkan duduk dengan Ethan. Kedua manusia itu berbagi dengan akur, sembari melanjutkan video kucing dan translate yang tertunda.
Jemari Nara saling bertautan saat bertatapan dengan Fay. Ia masih belum terbiasa dekat dengan anggota kelas lain, selain Ethan dan William.
"Aku suka," ujar Fay.
Nara tercengang, apa yang Fay ucapkan terlalu ambigu. "Maaf?"
Fay menunduk, tersenyum. "Nggak nyangka kamu mau ke rumahku."
Nara tak menjawab apa pun, masih mencerna apa yang Fay katakan. Berbagai macam asumsi menyerbu masuk ke otaknya, khawatir jika selama ini sikap yang ia tunjukkan pada Fay telah melukai perasaan gadis itu.
"Batari, ini Jumpsuit dari mama buat kamu."
Belum sempat suatu keputusan ditarik, Nara terperangah melihat sosok laki-laki berkacamata muncul di ambang pintu. Otak yang ia miliki bekerja dengan keras mengingat nama laki-laki yang menyerahkan bungkusan plastik putih pada Batari dan bergabung di antara mereka.
"Nara, kan? Ketemu lagi." Kairav duduk di samping Ethan, bersandar di sofa.
Detik itu pula, Nara mengingat nama siswa IPS yang benar-benar berjiwa IPS. Manusia yang pernah ia temui saat menunggu William dan Ethan menyelesaikan hukuman dari guru matematika.
Fay membuka plastik, menghela napas saat melihat isi plastik sama seperti yang Kairav katakan. "Tolong bilangin makasih sama budhe, tapi ... aku nggak enak dibeliin terus. Kamu yang anaknya jarang dibeliin, kan?"
"Iya, tapi nggak masalah." Kairav melepas jaket putih yang ia kenakan, menyisakan T-shirt dengan warna senada di balik jaket yang kini laki-laki itu lipat. "Bajuku udah numpuk di lemari. Jumpsuit itu hasil 'berburu' mama waktu di mall, buat kamu."
Fay yang menangkap raut wajah Nara segera memberi penjelasan. "Kairav ... sepupuku."
Nara mengerjapkan mata. "Sepupu?"
"Aku pernah bilang kalau kamu pasti bisa berubah, asal kamu mau. Aku benar, kan?" Kairav tersenyum manis. Ia menoleh ke kanan, mengamati Ethan dan William yang menonton video kucing. "Omong-omong, ketemu lagi sama dua 'pengawal' kamu."
Ethan dan William merespon, menoleh ke arah Kairav. Pemilik surai pirang itu menatap tak suka. "Hawa keberadaannya tipis, aku nggak sadar."
Ethan mengangguk setuju. "Mirip makhluk halus."
"Yang makhluk halus itu kamu sendiri," ujar William, menekan pause.
Ethan mengangguk. "Benar juga. Kulitku halus, berarti aku makhluk halus." Detik itu, ia merasa bersyukur telah rutin menggunakan lulur milik Jasmin. Walaupun harus babak belur karena lulur sang adik cepat habis setelah ia menggunakannya dalam takaran berlebih. "Aku halus." Ethan tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aoi'Nara'n [2020]
RomanceSebuah keinginan lahir, menyapa dan menyelimuti benak maupun hati. Dapatkah seorang gadis mempertahankan keinginan untuk mengasingkan diri? Atau justru tergagalkan oleh segala hal yang ia lalui selama sekolah menengah atas? Ainara, Aonaran. AOI 'NAR...