18. Ajakan dari sang musang

86 26 3
                                    

Nara meraih bungkusan plastik putih khas Indomaret dari tangan Ethan, tertegun melihat isinya. Ia tidak mengerti berapa lama laki-laki itu menghabiskan waktu untuk memilih seluruh snack dan minuman dalam plastik dengan satu warna, hijau.

"Sini, tebak apa yang kudapat!" Suara Fidelya memutar paksa kepala Nara hingga menoleh ke tempat Fidelya duduk berkelompok. "Parah sih, kemarin aku lihat senior kita, kak Alsaki sama kak Viona pulang bareng, dibonceng sama kak Alsaki! Padahal, selama ini vokalis band sekolah kita itu nggak pernah satu kali pun nggak dijemput sama sopirnya." Fidelya memberi jeda, mengunyah nugget. "Asal kalian tahu, mereka keliatan serasi banget! Kalian tahu sendiri kak Viona orangnya gimana."

"Padahal aku udah naksir kak Alsaki sejak tahu dia anggota kelas sebelas unggulan. Jangan-jangan, takdirku emang cuma sebatas jadi secret admirer," timpal Savin.

"Kamu udah punya pacar, jangan lupa. Aku sih, dukung. Walaupun jadi patah hati gara-gara kesempatan buat deketin kak Alsaki hilang." Fidelya tertawa pelan.

Nara tertegun, telapak tangan kanan gadis itu menampar pipi sendiri. "Kemarin kak Alin. Sekarang, kak Viona," lirihnya.

"Terus nih, kudengar dari anggota di kelas sebelas unggulan sendiri, Kak Viona emang sering mampir ke kelas mereka akhir-akhir ini. Rumornya, kak Viona suka sama kak Alsaki."

Bahu Nara melemas, dengan pikiran terpenuhi berbagai macam dugaan tak berujung. Ia melirik jam dinding, melangkahkan kaki menuju luar kelas melalui pintu belakang sebelum lengan gadis itu ditahan oleh William.

"Mau ke mana?"

Nara melepas tangan William di lengannya. "Cari angin. Nanti kubawain buat kamu."

"Kubarengin. Jam istirahat gini di luar pasti ramai banget," ujar William.

Nara menggeleng. "Tolong biarin aku sendiri."

Setelah lepas dari William, gadis itu bergegas menuruni tangga, menahan rok agar tak terkibar saat diterpa angin yang berembus. Ia merapikan helai rambut yang mengganggu proses kerja matanya. "Wah?"

"Masih inget aku? Adik kelas paling 'nurut' sejak MOS."

Nara terkesiap, mengenali wajah kaku siswa dengan bet yang jelas-jelas berbeda dengannya, kakak kelas. Ketua OSIS sekolah mereka yang terkenal dengan wajah kaku dan merupakan anggota bela diri sekolah, Azka Ravindra.

"Kakak ... salah orang. Saya bukan orang yang kakak maksud." Nara menunduk, menghindari sorot tajam Azka yang mengintimidasi.

"Benar kamu, kok. Aku masih ingat siswi yang ngomel di depan mukaku di hari pertama orientasi sekaligus sengaja sakit, juga nabrak aku beberapa hari lalu." Alis laki-laki itu terangkat. "Mataku sehat dan kuat."

Nara meringis, melangkah mundur ke belakang. Jemarinya saling menaut di belakang tubuh.

"Ayo, ikut."

Gadis itu mendongak, disambut dengan raut wajah Azka yang dingin. Nara terperangah.

"Kenapa? Nggak ada kerjaan, kan? Temani ke perpustakaan, bosan banget di kelas."

Nara terpaksa mengangguk, ia mengikuti Azka yang berjalan santai. Dengan langkah hati-hati, ia mengikuti Azka hingga sampai menuju perpustakaan yang dikelilingi bunga mawar dengan kelopak merah, kuning, dan putih. Nara takjub, selama hidup, baru pertama kali ia melihat perpustakaan dengan bunga yang mengitari bangunan perpustakaan itu sendiri. Terletak terpisah dengan bangunan lain, perpustakaan itu berdiri sendiri dengan dua lampu taman yang berdiri di bagian depan, seolah berperan layaknya gerbang yang berdiri kokoh.

"Kenapa?" Azka berbalik, menatap sang adik kelas tengah terpukau mengamati suasana perpustakaan yang jauh dari kata suram.

"Saya ... baru pertama kali ke sini sejak masuk sekolah," jawab Nara. Dulu, saat mengelilingi sekolah semasa orientasi, area perpustakaan dan sekitar bangunan itu tidak diperbolehkan untuk dikunjungi dikarenakan renovasi sebagai alasan.

Azka tersenyum sekilas. "Buku-bukunya juga lengkap. Mau cari komik, novel, atau apa lah ada."

Nara terperangah, bergegas melepas sepatu dan meletakkannya pada rak. Bingung mengamati rak sepatu hampir penuh alas kaki yang berjajar rapi dengan berbagai ukuran. Mengingat perpustakaan SMP-nya dahulu selalu sepi pengunjung, kurang diminati oleh para penghuni sekolah.

"Ayo." Azka kembali menegur untuk kedua kali. Ia berjalan mendahului Nara yang segera mengekor di belakang.

Setelah menulis daftar pengunjung, Nara menganga mengamati sekitar. Perpustakaan itu bersih, rapi, dengan fasilitas yang sangat-sangat memadai. Lihat saja bagaimana penataan kursi dan meja bagi para pengunjung di setiap sisi ruangan. Cat dinding dengan warna pastel yang terkesan lembut. Dua pendingin ruangan di masing-masing kanan-kiri atas ruangan, serta rak tinggi aesthetic berwarna putih yang berjumlah sekitar enam buah. Jangan lupakan karpet loop pile abu-abu yang saat ini Nara pijak.

Azka memberi isyarat tangan pada Nara untuk mendekat. Laki-laki itu menunjukkan Nara rak dengan berbagai macam koleksi buku cerita, mulai dari novel hingga komik. "Aku mau cari ensiklopedia di sebelah sana. Lihat-lihat aja dulu. Tapi, awas aja kalau ninggalin."

"Iya, Kak." Nara mengangguk patuh, dengan senang hati menelusuri buku yang tersusun rapi sesuai warna. "Ibu perpustakaan orangnya perfeksionis, pasti." Ia memilih satu buku yang menarik perhatiannya, menuju meja kosong terdekat, lalu duduk di sana. "Saatnya bersantai, Nara."

Azka dengan raut datar mengintip dari balik celah buku, matanya yang tajam mengamati Nara yang tenggelam dalam buku bacaan. "Dia bahkan nggak nyari aku, parah."

•••


"Nara belum balik?"

Ethan memutar bola mata. "Tolong dilihat, adakah gadis imut kita di sini?" Ia menunjuk kursi Nara yang kosong.

William menduduki kursi yang Ethan tunjuk. "Kok belum balik, sih. Tadi katanya cuma cari angin. Bentar lagi, bel masuk bunyi." Sang pirang menjulurkan tangan ke samping, meraih ponsel di atas mejanya.

"Nggak usah ngomel. Aku yakin Nara cuma muak liat kamu," seloroh Ethan.

Bunyi pukulan terdengar keras diikuti Ethan yang mengelus punggung. "Aku salah apa?!"

William menoleh. Di ambang pintu yang terbuka, Nara berdiri berhadapan dengan seorang laki-laki yang jauh lebih tinggi dari gadis itu.

"Makasih, Kak Azka. Ternyata di balik muka kakak yang mirip musang nahan berak, hati kakak mirip smoothie bowl."

Azka mengerutkan kening. "Kamu bisa pingsan kalau liat aku senyum, bocah. Biasa aja ngobrol sama aku, nggak usah pakai 'saya' segala."

Nara mengangguk, melambaikan tangan pada Azka yang menuruni tangga, lalu masuk ke dalam kelas.

"Ra, kamu nggak bisa gini. Aku cemburu, bisa-bisanya bareng ketua OSIS kita." Ethan merengut.

"Aku juga," timpal William, menyilangkan kedua lengan.

Gadis itu mengabaikan kedua makhluk yang terasuki setan childish. "Teruntuk para setan yang bersarang di tubuh kedua makhluk bobrok ini, pergi sebelum kucipratin air comberan bekas BAK ikan." Nara menyodorkan kepalan tangan ke arah William.

"Wah, rukiah-nya mau dimulai!" Ethan berseru dengan semangat.

William menatap sengit. "Kamu yang kurukiah, Ethanol."

"Titipanmu." Nara tak bergerak satu inchi pun dari tempatnya berpijak. Tetap pada posisi kepalan tangan mengarah pada William.

"Titipan?" ulang William, menunggu penjelasan.

"Angin. Tadi sebelum pergi, aku bilang mau bawain kamu angin."

Bergegas, William membuka kepalan tangan Nara lalu mengepalkan tangannya sendiri. "Makasih, Ai. Kamu ... baik banget."

Nara mengibas tangan. "Kalem, nggak seberapa sama bau angin kentut terbaikku yang limited edition."

Aoi'Nara'n [2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang