Memasuki semester dua, kenolepan Nara semakin meningkat pesat. Kewibuan gadis itu juga melesat dalam beberapa hari pasca badmood. Nara sanggup menyelesaikan maraton anime dalam waktu satu setengah hari.
Saat ini, jam pelajaran olahraga baru saja usai. Nara duduk di kursi, masih memakai kaus olahraga. Dari ujung kelas, kedua makhluk hidup yang tak lain adalah William dan Ethan datang membawa pesanan di tangan mereka. Dua laki-laki itu juga menjabat sebagai filter makanan Nara.
Teman kelas mereka harus beradaptasi dengan kelakuan baru William dan Ethan. Kedua makhluk hidup itu akan bergegas berlari menuju kantin, tepat setelah bunyi bel menggema hingga sudut sekolah. Beberapa kali menempati posisi teratas konsumen yang lebih dulu menginjakkan kaki untuk membeli kudapan kantin.
"Nara, enak banget jadi kamu," celetuk Dhafa. Melihat Ethan dan William yang berselisih hanya karena Nara, membuat mulut Dhafa gatal untuk tidak berkomentar.
Nara mengangguk. "Iri?"
Dhafa terdiam, mencerna apa yang baru saja didengar. Kening laki-laki itu berkerut, melafalkan ulang dalam hati tiap kata yang baru saja ia ucapkan. Ia bergeleng, menyadarkan diri, memegang teguh prinsip 'Sesama wibu nolep, sepatutnya tidak saling bertikai'. Prinsip yang didapatkan dari grup persatuan wibu sekolah, dimana Nara juga termasuk anggota grup tersebut.
"Nara, tadi pak Joni nyari kamu. Nilai ulangan harian matematika kemarin di bawah KKM. Pulang sekolah disuruh nemuin di kantor guru." Adisti, ketua kelas meletakkan selembar kertas jawaban yang telah tercoret-coret pena dengan tinta merah di atas meja Nara. Ia beralih menatap Ethan yang memainkan ponsel. "Nilai kamu selalu bagus. Than, selamat."
Ethan menaikkan alis, mengangguk. Jemari laki-laki itu masih sibuk dengan game online yang ia mainkan.
Adisti menggigit pipi bagian dalam, ia melirik Nara yang memasukkan kertas jawaban ke dalam loker meja setelah melipatnya menjadi dua.
"Ra-Ra, nanti kuajarin. Gambar mulu, sih." Ethan mengacak rambut Nara, ditepis oleh William.
"Kurang kerjaan atau gimana?" Ethan jengkel. William dengan segala tingkah laku abstrak dan mengganggu ketentraman batin itu selalu memancing jiwa Ethan untuk memberontak. Pernah sekali saat Ethan melahap bakso di kantin, William dengan sengaja mengecap. Sang pirang tahu jika Ethan mengidap misophonia.
"Tangan, nggak usah pegang-pegang."
Ethan tersenyum sinis. "Iri kamu. Iri itu, jangan dipelihara."
William menyentuh ujung hidung, mengangkatnya ke atas hingga terlihat kedua lubang tambang 'tembaga'. Laki-laki itu tentu tidak khawatir, ia rutin membersihkan hidung sebelum berangkat sekolah. Upil yang bersarang tentu akan mengganggu kenyamanan pernapasan hidung empat puluh lima derajat William.
Dhafa yang melihat ikut menimbrung, menepuk bahu William. "Tenang, Will. Aku ada di kubumu."
"Thanks, Dhaf. Kamu emang temanku yang paling baik." Merasa mempunyai pendukung, William percaya diri maksimal.
Dhafa mengangguk, membenarkan. "Aku mau cerita."
Nara menoleh, menunggu Dhafa berbicara. Melihat Nara yang tertarik mendengar, Ethan melakukan hal serupa, menopang kepala dengan tangan kanan, dan mengabaikan Adisti yang berlalu pergi dengan entakan kaki.
"Kemarin, aku ketemu dog di jalan." Dhafa memulai cerita, membayangkan hal yang telah dialaminya. "Si dog galak banget! Aku cuma lihat, dan dia langsung nyalak kayak lihat tulang. Tau aku kurus mirip pohon kurang air. Apa jangan jangan ... si dog tertarik sama tulangku?" Dhafa berasumsi.
Ethan, William, dan Nara mengangguk membenarkan setelah melihat postur tubuh Dhafa yang tinggi, namun kurus.
"Setelah kulihat lekat-lekat, aku malah keinget seseorang," ujar Dhafa, mendadak serius.
William tertarik. Terlebih ketika Dhafa menatapnya. "Siapa emang?"
Dhafa menepuk pundak William. "Mirip kamu."
Ethan tergelak, memegangi perut yang terasa geli. Raut William yang menunjukkan kehampaan semakin menstimulasi khayalan anehnya tentang William.
"Dhaf, bisa ulangi lagi? Aku berharap ... aku salah denger," pinta William, menatap serius.
Dhafa mengangguk. Kali ini menaikkan volume suara, "MIRIP! BAGAIKAN SAUDARA KEMBAR YANG TERPISAH."
Tawa Ethan meledak, memancing perhatian siswi kelas yang malah terpesona. Jika William sadar, mungkin sang pirang akan menempel lakban pink yang menganggur di nakasnya pada masing-masing mata mereka.
"Tadi kamu bilang ada di pihakku, Dhaf." protes William, tak terima.
Dhafa mengangguk. "Maaf, anak muda. Tapi, mukamu bikin otakku tersugesti buat ngeledek."
Ethan mengangguk, berlagak bijak. "Nggak membantah."
Nara ikut mengangguk. "Will emang mirip ..." Menahan tawa melihat respon William. Gadis itu melanjutkan, "retriever."
William menatap hampa, ingin menangis berguling memeluk lutut kesana-kemari. Namun diurungkannya niat itu mengingat takkan ada satu pun yang membela. Sejurus kemudian, ia tersenyum seakan tak terjadi apa pun. "Aku nggak apa-apa jadi anjingmu, Ai. Nanti bisa jagain kamu."
Alis Nara berkerut. "Aku cuma nampung Jack."
Dhafa kebingungan, laki-laki peranakan original Yogyakarta itu meminta penjelasan pada Ethan yang cekikikan. "Siapa Jack?"
"Kucing Nara," jawab Ethan.
Dhafa mengangguk, menyeringai pada William yang semakin pucat. "Ada yang tertolak, guys!"
"Berisik. Pulang sekolah, kita ketemu di lapangan. Aku mau ngiket kamu pakai tali pita!" putus William, tak lagi ragu setelah mengamati perilaku Dhafa.
Dhafa mengernyit. "Tanggung, mending sulur berduri sekalian."
Ethan mengelus dada, berada di sekitar manusia yang telah 'rusak' membuat Ethan selalu berdoa agar tidak menyerupai mereka. "Kamu ternyata 'rusak' juga ya, Dhaf?"
Dhafa segera mengangguk, membuat Ethan mengelus dada. "Iya, dong!"
Hari itu, Dhafa dibawa William dan Ethan ke kamar mandi, dikunci, kemudian ditinggalkan, mengabaikan teriakan Dhafa yang semakin menjadi-jadi.
"Bang, bukain! Dhafa nggak makan bubur dicampur sirup marjan merah lagi, deh!" Dhafa menggedor pintu, mencakar dinding, memutar pegangan pintu kamar mandi berulang kali.
"Berisik, nggak nyambung. Menjamur kamu di dalam sana!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aoi'Nara'n [2020]
RomanceSebuah keinginan lahir, menyapa dan menyelimuti benak maupun hati. Dapatkah seorang gadis mempertahankan keinginan untuk mengasingkan diri? Atau justru tergagalkan oleh segala hal yang ia lalui selama sekolah menengah atas? Ainara, Aonaran. AOI 'NAR...