"Ai! Ayo berangkat." William berhenti di depan Nara, mematikan mesin motor, kemudian bercermin pada spion.
"Softlens. Kamu mau dicolok pulpen sama guru BK?" Nara mendekati William, bersiap naik sebelum laki-laki itu histeris.
"KAMU POTONG RAMBUT?! BUAT APA?"
Nara berdeham. "Move on." Ia menduduki jok motor dalam posisi menyamping. "Ini model korean bob dan ayo berangkat, William. Aku nggak mau dihukum karena telat."
William terperangah dengan nada bersemangat Nara. Gadis itu tampak membaik dibandingkan dengan terakhir kali ia melihatnya. Seakan senyuman Nara menular, lengkungan terbentuk di bibir William. "Siap! Pegangan yang kencang, kita jalan!"
•••
"Sungguh, perubahan yang menakjubkan. Niatteirune."
"Sok baku kamu, Dhaf. Bikin mual. Tapi, ada benarnya." Ethan mengamati Nara. "Leher Nara kelihatan lebih panjang."
"Tapi, coba lihat William! Dia berani pakai softlens ke sekolah, walaupun hitam, sih. Kamu nggak takut kena omel guru konseling?" Dhafa berseru, menyedot perhatian Ethan.
"Omong-omong, kalian tahu?" tanya William.
"Nggak, basa-basi yang benar-benar basi, Will. Tolong langsung ke inti." Ethan bersandar pada kursi.
Sang pirang meletakkan tas ke atas meja. "Tadi, waktu di koridor, aku lihat pak Joni lari ke arah kamar mandi guru sambil megangin perutnya."
"Terus?" Dhafa tertarik mendengarkan, memasang wajah serius.
"Tebak, pak Joni ngapain?"
Pertanyaan William cukup membuat kedua manusia ,Ethan dan Dhafa, itu berpikir keras.
"Mana kutau. Kenapa nggak kamu buntutin aja tadi?" Ethan menuangkan sedikit air minum dari dalam tupperware ke telapak tangan, mencipratkanya pada wajah William. "Masih ngantuk pasti."
Setelah mengusap wajah dengan lengan seragam, William menumpu kepala dengan satu tangan. "Menurutku, ada kemungkinan pak Joni diare karena habis kayang seratus kali muterin alun-alun kidul."
"Sok tau. Pak Joni itu cepirit!" Ethan berujar dengan keras.
Dhafa dan William terkikik.
"Kuakui kepintaranmu, anak muda." William mengangguk bangga.
Sebenarnya, kedua makhluk itu cukup heran dengan Dhafa yang tiba-tiba menyingkir, duduk tenang di tempatnya seolah tak mengetahui apa pun.
"Kenapa? Kalian mau produk saya?"
William dan Ethan menoleh bersamaan, tiba-tiba kejang, ketakutan. Pak Joni berjalan dari arah papan tulis menuju kedua manusia yang membungkam mulut mereka sendiri dengan kedua tangan. Lantas keduanya menggeleng, membayangkan pak Joni tersenyum sembari menyerahkan dua bungkusan plastik berisi p*op cukup membuat isi dalam perut mereka bergejolak, menendang layaknya bayi dari pemain bola.
"Terima kasih saya ucapkan pada Bapak Joni yang telah menawarkan kami 'emas-emas' premium. Bapak terlampau baik hati. Tapi, mending saya beli pisang goreng daripada dapet doorprize p*op Bapak," ujar William yang diikuti anggukan Ethan.
"Oh, gitu." Pak Joni berpikir keras.
William mengangguk, lalu terdiam. Setelah tersadar bahaya yang mengancam keberlangsungan hidupnya, retriever pirang itu segera menyangkal apa yang beberapa menit lalu mereka katakan. "Pak, kita lagi ngomongin soal ... tetangga yang tadi pagi cepirit di depan rumahnya. Kebetulan, nama beliau mirip Bapak."
Pak Joni mengangguk, dengan cepat pria itu mengapit kepala Ethan dan William di antara lipatan ketiak. Sang pirang berhasil menyelamatkan diri, berlari keluar kelas, hendak memuntahkan sarapan.
"Kebetulan, hari ini lupa nggak pakai deodoran. Bagimana muridku tersayang, sedap bukan rasanya?"
Ethan tak menjawab, bertahan dari serangan brutal pak Joni yang semakin mempererat kontak antara ketiak berharganya dengan wajah Ethan. Pria paruh baya itu tampak tak peduli dengan Ethan yang kini megap-megap.
Setelah puas memberi 'restu pagi' pada sang anak didik, pria itu melepas Ethan. Tersenyum puas seolah tatapan horror seisi kelas tak berpengaruh pada eksistensinya sebagai guru berkarisma. "Gurumu ini memaafkan engkau, muridku. Sekarang, kau bebas."
Bola mata Ethan memutar menahan mual, tak berani mengeluarkan protes karena takut dijejali boxer kadaluwarsa. Sejenak, ia membungkuk, menikmati peran sebagai seorang murid teladan terhadap sang guru. "Terima kasih atas aroma premiumnya, Pak. Tolong doakan agar dosa-dosa saya terampuni. Saya pamit dulu."
Ethan muntah-muntah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aoi'Nara'n [2020]
RomanceSebuah keinginan lahir, menyapa dan menyelimuti benak maupun hati. Dapatkah seorang gadis mempertahankan keinginan untuk mengasingkan diri? Atau justru tergagalkan oleh segala hal yang ia lalui selama sekolah menengah atas? Ainara, Aonaran. AOI 'NAR...