"Di sini."
"Aku mau di belakang." Nara menolak mentah-mentah tawaran ke-lima William. Sejak tadi, retriever itu menawarkannya tempat-tempat sumber kebisingan berasal. Jika menerima tawaran William, sama saja dengan mencoba menyiksa diri perlahan.
William merengek, merengut bak anak kecil yang merajuk karena sang ibu menolak membelikan balon plastik bergambar spons kuning. Nara abai, berlari kecil ke arah meja yang ia pilih. Berdebat hanya akan menguras energi. Apa yang menguntungkan dari kemenangan semu?
Memaksa tiap kalimat keluar dari mulutmu, membuat orang lain bungkam hingga tak mampu untuk membalas. Apa kau benar-benar puas? Bagaimana jika yang terjadi adalah kau hanya menenangkan dirimu, ketika yang sebenarnya terjadi adalah kau keliru?
Pada akhirnya, William tetap menempel pada Nara, menepuk meja yang diinginkan sembari mengucap salam perpisahan, lalu berjalan lemas ke arah meja tak bertuan di samping Nara.
Nara terkekeh dalam hati, tersenyum tipis saat melirik William yang duduk. Senyum gadis itu menghilang tatkala mengetahui sang pirang tengah tersenyum sok kawaii sembari bertopang dagu ke arahnya. Alih-alih terpesona, ia merinding ngeri.
"Kenapa? Aku ada salah?"
"Banyak, itu pun kalau sadar."
William merasa 'terlempar'. Akan tetapi, dengan berat badannya saat ini, ia tidak akan terpental bebas, melayang, hingga menabrak dinding kelas di belakang mereka hanya karena ucapan Nara.
Baru saja hendak membela diri, ucapan William terhenti oleh sosok yang duduk di depan Nara. Menatap gadis itu dengan tatapan -yang menurut William- menggelikan sekaligus menyebalkan. Tangan sang surai pirang gatal untuk tidak menempelkan potongan lakban merah muda pada mulut seorang siswa di depan Nara.
Penampilan seseorang dan bagaimana tanggapan orang lain memang berbeda, tidak selalu sama. Bagi William yang menyukai segala bentuk natural seseorang, Nara adalah gadis yang rupawan. Dengan rambut wavy tergerai sepanjang skapula, dan wajah yang tak terpoles riasan tebal, hanya bedak tabur translucent tipis dan pelembab bibir tanpa warna.
"Ethan Cakra." Tangannya terulur, mengarah tepat di depan Nara yang bergeming.
"Ainara Azrin, bisa panggil dia Nara. Aku William, dan cuma aku yang berhak manggil dia 'Ai'," sahut William.
Nara bersyukur, tak perlu menjawab. Karena jujur saja, ia bingung langkah apa yang harus diambil ketika terjadi hal seperti ini. Dulu, ketika sekolah menengah pertama, ia menjadi sosok seperti Ethan. Sosok yang lebih dulu mengulurkan tangan, bukan menerima uluran. Tetapi ... tunggu. Ia tidak ingat pernah memberikan izin legal pada William atas panggilan barunya. Nara tidak ingat pernah memberi William hak istimewa.
Sepertinya otak surai pirang itu tertinggal di luar negeri sebelum kembali ke Indonesia. Nara merasa berduka, menduga otak malang itu tidak betah tinggal di kepala William yang berisi hal-hal konyol hingga otomatis keluar dengan sendirinya.
Ethan menatap William dengan raut wajah percaya diri level maksimal. William balas menatap dengan mengembang kempiskan rongga hidung berulang kali secara cepat.
"Kenapa nggak? Terserah aku." Ethan mengamati Nara yang menghadap ke luar jendela. Jemarinya gatal ketika membayangkan gadis itu adalah chinchilla hitam, kemudian mengacak surai gelap Nara.
"Jangan sentuh, human. Dia punyaku. Kamu ... nggak berhak." William menepis tangan Ethan.
Ethan tersenyum santai, mengibas tangan yang William tepis. "Punya siapa? Punya kartu kepemilikan atas dia? Selama Nara belum terikat pernikahan, dia bukan punya siapa pun."
William melempar tatapan sinis pada Ethan, lalu beralih pada Nara yang mematung. "Ai, nggak apa-apa?"
Ethan menopang dagu. "Imut banget. Ya kan, Will?"
William mengangguk menyetujui, telat menyadari hingga Ethan terkekeh. "Sok dekat manggil namaku Will!"
"Nge-gas terus, bensinnya penuh pasti. Terus, mau aku panggil Apem? Nggak, kamu basi. Seenggaknya, Apem lebih berkualitas." Ethan terkekeh melihat wajah William yang memerah padam. Ia berbalik menghadap depan setelah tersenyum memamerkan susunan gigi rapi tanpa behelnya pada Nara, memasang AirPods di kedua telinga, dan mengabaikan William yang mengomel mendata jenis-jenis dinosaurus hingga keseluruhan makhluk purba.
Bibir retriever pirang itu mengerucut. William mengirimkan sinyal SOS pada Nara dengan mengandalkan puppy eyes. Kurang beruntung karena Nara malah membuang muka ke jendela. Sontak jantung William meroda ke segala arah, tak terima kenyataan pahit yang disaksikan sang mata. Usus William membelit satu sama lain, saling memberikan pelukan hangat atas berdukanya diri sendiri. Alhasil, pagi itu William mendadak buang air besar untuk kedua kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aoi'Nara'n [2020]
عاطفيةSebuah keinginan lahir, menyapa dan menyelimuti benak maupun hati. Dapatkah seorang gadis mempertahankan keinginan untuk mengasingkan diri? Atau justru tergagalkan oleh segala hal yang ia lalui selama sekolah menengah atas? Ainara, Aonaran. AOI 'NAR...