Nara memegangi kepala, meraba loker meja, menarik kotak hitam panjang dan membukanya. Gadis itu memasang benda berkaca yang terlampau jarang digunakan. Benda itu hanya akan berfungsi ketika ujian semester dilaksanakan, seperti saat ini.
Ia menatap ke depan, mengamati jari Ethan yang gesit mencorat-coret kertas buram di bagian kanan atas meja yang sebelumnya dibagikan guru pengawas untuk masing-masing murid. Ia berdecak kagum, lalu beralih menatap layar komputernya sendiri. Nara menatap muak pada sebagian besar soal yang masih belum terisi. Frustrasi, gadis itu mematahkan pensil kayu yang ia gunakan untuk mencari jawaban yang tepat.
William menatap langit-langit kelas, punggung sang pirang bersandar pada kursi. Beberapa saat kemudian, laki-laki itu duduk tegak dan mengeklik salah satu jawaban.
"Nggak bisa gini." Nara duduk dengan benar, tak lagi membungkuk dan menatap benci layar komputer. "Aku ... harus berusaha. Semangat, kurang beberapa hari lagi pelatihan otak ini selesai. Setelah itu, bisa refreshing otak."
William menarik napas, lalu berseru, "Bu! Saya nggak paham lagi. Ibu mau bantu saya, tidak?"
Guru biologi, Padma melirik William yang bertingkah konyol dengan meliukkan kedua tangan yang telah disatukan ke atas. Ia terdiam, lalu berujar dengan tenang, "Kamu boleh menyalin jawaban temanmu."
William terkejut, menyentuh dada. Sang pirang sontak menoleh ke arah Ethan yang merinding.
"Tapi, setelah itu, ikut saya ke ruang BK." Padma menyeringai, memantau gerak-gerik William yang gelisah. "Lagipula, saya tahu sebenarnya kamu bisa mengerjakan soal-soal itu dengan mudah, William."
William menegang, tersenyum manis. "Ibu bisa saja. Saya tidak seperti itu." Laki-laki itu menyibak rambut ke atas, menatap datar ke layar komputer dan tak bersuara kembali.
Nara mengernyit, menyelidik William, lalu kembali berkutat dengan kertas buram ketika menyadari sisa waktu pengerjaan melalui jam dinding di atas papan tulis putih.
•••
"William." Nara menyodorkan bekal berisi salad buah yang telah disertai dengan sendok bebek melamin hitam di atas kotak bekal. "Dibuatin mama, buat kamu."
William melirik kotak bekal lain di meja Nara. "Wah, makasih!" ujar sang pirang dengan semangat.
Ethan menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"
Nara melambaikan tangan, meminta Ethan untuk mendekat. "Kamu makan sama aku aja. Lain kali, kubuatin." Gadis itu menyerahkan satu sendok ke arah Ethan.
"Sendoknya ada dua?" tanya Ethan. Ia menatap heran pada sendok sejenis di tangan Nara.
Nara mengangguk, membuka tutup bekal, lalu meletakkan kotak tersebut di tengah meja, di antara dirinya dan Ethan. "Aku kadang bawa dua. Jadi, kalau satu jatuh ke lantai, tinggal pakai satunya lagi."
Ethan terdiam, tak habis pikir. Ia menoleh pada William yang melamun. Gatal dengan wajah William yang terlihat menggelikan, Ethanol menggebrak meja.
"Thanks," ujar William begitu sadar. Sang pirang menutup muka sejenak, lalu kembali berwajah ceria.
Nara menopang dagu, menatap ke kotak bekal di atas meja dalam keadaan tertutup. "Kenapa, Will?"
William tak menjawab. Ia hanya tersenyum, mengembuskan napas. "Debat sama pikiran sendiri."
"Nggak apa-apa kalau nggak mau cerita," sahut Nara. Gadis itu memalingkan muka, menahan tawa. Ia ingin mengetahui apakah itu dapat memancing William untuk mengatakan kebenaran. Nara menunggu, masih tak ada sahutan. Kali ini, ia mencoba melempar umpan lain. Nara melirik William melalui sudut mata. "Kamu ... hebat bisa bertahan sampai titik ini, William."
William mengeratkan genggaman pada sendok plastik. "Aku nggak sempurna, bukan manusia luar biasa jenius yang bisa seluruh mata pelajaran. Tapi, spesialisku hitungan."
Tertangkap! Ikan besar telah mengunyah umpan dan siap untuk ditarik ke daratan. Nara tersenyum diam-diam.
William terlihat senang, wajah laki-laki itu berseri ketika bercerita. "Waktu di Zurich, setelah pindah dari Indonesia, kupikir, aku bisa bantu murid lain."
Nara dan Ethan mendengarkan. Kedua manusia yang saling berhadapan itu tidak saling menatap, mata keduanya bertubrukan dengan kotak bekal berisi salad buah di atas meja.
"Tapi, teman sekelasku malah nggak suka. Aku yang nggak bisa ngerti situasi. Jadi ... semenjak itu, aku pura-pura nggak paham, khususnya matematika. Tamat." William berhenti, ia tersenyum lebar. "Than, sebenernya, aku nggak pernah benar-benar nyalin jawaban matematikamu. Aku ngerjain sendiri. Jawabanmu yang kutulis, kuhapus lagi, tapi, Than, thanks a lot."
"Sedih banget." Ethan menutup mata.
Nara menjitak kepala Ethan menggunakan ujung ponsel. "Nggak boleh gitu, Than."
Ethan meringis. "Tapi aku emang sedih, Ra-Ra."
Nara mengamati William yang tersenyum sendiri berulang kali. "Rasanya lebih lega, kan?"
William mengangguk, tergelak, membuka tutup bekal. Laki-laki itu mengomel ke arah bunyi ketika mendengar bel istirahat yang mengatakan jika istirahat akan selesai dalam waktu sepuluh menit ke depan, kemudian cepat-cepat memakan salad dalam kotak bekal. Begitu pula dengan kedua makhluk yang menjadi saksi pengakuan William atas apa yang selama ini laki-laki itu pendam rapat-rapat.
Nara termenung, tertawa dalam hati. Gadis itu berpikir mengenai keinginan untuk mengasingkan diri. Memang keinginannya sejak lama. Tetapi, kenapa kini ia merasa terbebani?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aoi'Nara'n [2020]
RomanceSebuah keinginan lahir, menyapa dan menyelimuti benak maupun hati. Dapatkah seorang gadis mempertahankan keinginan untuk mengasingkan diri? Atau justru tergagalkan oleh segala hal yang ia lalui selama sekolah menengah atas? Ainara, Aonaran. AOI 'NAR...