15. Seorang 'pembaca'

88 30 4
                                    

Berhati-hatilah pada seseorang yang dapat dengan mudah 'membaca'. Karena gerak-gerik sekecil apa pun, 'pembaca' akan dengan mudah mengetahuinya.
___ ___

Gesekan daun yang tertiup angin menimbulkan kesan damai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gesekan daun yang tertiup angin menimbulkan kesan damai. Beberapa murid tampak berlalu-lalang di koridor sekolah, sebagian besar dari mereka adalah murid-murid yang tengah menunggu jemputan tiba.

Papan kayu yang menggantung di atas pintu bergerak saat tertiup angin sore, menimbulkan suara gesekan antara pengait dengan papan itu sendiri. Pandangan gadis itu tersita beberapa saat pada tulisan yang terukir pada papan, sebelum akhirnya memutuskan menduduki bangku kayu yang dikelilingi bunga mawar di depan kelas itu.

"Masih ada orang?" gumamnya ketika melihat lampu kelas yang masih menyala, terlihat mencolok dibanding dengan deretan kelas lain yang tampak gelap gulita. Nara mengetuk jari di atas meja kayu berwarna cokelat tua, bola mata dengan sorot datar milik gadis itu mengamati sekitar. Beberapa kali mengembuskan napas kasar, menggerutu dalam hati tanpa siapa pun yang mengetahuinya.

Menunggu William dan Ethan menyelesaikan hukuman dari guru matematika mereka terdengar membosankan. Beruntung keadaan sekitar seakan mendukung keberadaan Nara. Jika saat ini masih ramai, entah bagaimana jadinya seorang Nara yang mau tidak mau harus menunggu -dua makhluk tidak beruntung yang kini tengah menjalani hukuman- di antara keramaian yang ada. Saat mengingat satu hal, ia tersenyum geli. Satu-satunya sumber pembuat masalah yang mengakibatkan insiden pengangkutan guru matematika oleh beberapa siswa adalah dirinya sendiri yang kini tengah duduk santai, terhindar dari tanggungan hukuman yang seharusnya turut ia jalani.

Jemari gadis itu menarik resleting tas hingga terbuka lebar. Satu tangan masuk ke tas, mencari benda yang ia simpan di dalam sana. Ketika telapak tangan gadis itu menyentuh sesuatu, ia menarik keluar benda persegi panjang berlayar di genggaman tangannya. "Okay! Anime apa yang kita tonton hari ini?" gumamnya pelan.

Bola mata berwarna cokelat tua milik gadis itu bergulir, melirik jam di layar atas ponsel yang menunjukkan pukul 16:10. Ia menggigit bibir bawah yang tak terpoles apa pun, sesuatu dari dalam kepala milik Nara terus-menerus menyuarakan sesuatu, memperingatkan gadis itu untuk segera pergi dari tempatnya berpijak sebelum dua puluh menit ke depan. Ia mendengus saat batang hidung kedua makhluk yang ia kenali tak juga muncul dan menyeretnya pulang. Bagaimanapun, ia harus pergi lebih dulu daripada kelas dua belas yang akan keluar setelah selesai bimbingan ketika waktu menunjukkan pukul 16:30. Ada seseorang yang harus ia hindari.

"Woi!"

Alis Nara tertaut, menimbulkan kerut. Sudut mata gadis itu 'menangkap' seorang siswa berdiri di ambang pintu kelas yang sempat menjadi pusat perhatian Nara. Satu-satunya kelas dengan lampu menyala.

"Belum pulang?" Laki-laki dengan pakaian rapi mendekat setelah menutup pintu, melangkah ke arah Nara yang bergeser ke samping, memberi celah lebar di antara keduanya.

"Kairav dari sepuluh IPS 2, kelas di samping kamu. Panggil Kai aja." Tangan laki-laki itu terangkat, membenahi rambut yang menutupi dahi. "Namamu siapa?"

Nara menoleh, menunjuk dirinya sendiri.

Sudut bibir Kairav terangkat. "Aku nggak lagi ngobrol sama partikel udara yang melayang bebas di sekitar kita."

Nara terdiam, membuang muka, menghindari tatapan Kairav. Sejenak, otak gadis itu tersibukkan dengan memikirkan motif siswa yang tak ia kenali dengan bertanya nama, sesuatu yang cukup pribadi bagi Nara. Karena bagi Nara, orang asing tak perlu mengetahui namanya. Kecuali dalam kondisi tertentu yang mengharuskan untuk menyebut nama.

Kairav yang memiliki kepekaan dengan level tinggi menghela napas, membaca gerak-gerik Nara sangat mudah. Seperti membaca buku yang terbuka lebar, menunjukkan tiap kata yang terangkai hingga membentuk sebuah kalimat dan menghasilkan suatu paragraf yang memiliki makna tersirat. "Nggak usah, deh." Kairav tersenyum, tertarik dengan Nara yang mudah dibaca. Bahu gadis itu nampak menurun, tak lagi kaku. "Aku tadi ketiduran di kelas, semalam bergadang ngerjain tugas. Kamu kenapa belum pulang?"

Nara meraba kelopak mawar merah di sampingnya. "Nunggu ... makhluk hidup."

Kairav mengangguk. "Kutemani." Ia melirik Nara, berujar sangat lirih, "Kamu sengaja lagi?" Laki-laki itu tersenyum tipis, mengingat kejadian seorang gadis yang pernah tertangkap basah olehnya ketika masa orientasi siswa hari pertama, Nara.

"Pulang aja, aku bisa nunggu sendiri," tolak Nara, berharap laki-laki itu meninggalkannya sendirian. Ia menggeleng saat mendengar sesuatu, mengira hal tersebut hanya ilusi semata.

"Rumahku nggak jauh dari sekolah. Emangnya, nggak bosan nunggu sendirian?" tanya Kairav, berpura-pura tak sadar atas reaksi penolakan Nara. Diam-diam, tersenyum ketika menghadap arah lain. Satu-satunya yang ia khawatirkan ketika terlambat pulang adalah peliharaan berbulu miliknya.

Nara tersenyum tipis, sangat tipis hingga ia sendiri ragu apakah senyuman itu terbentuk atau tidak. Nara harus menerima kenyataan bahwa bagaimanapun, kesendirian akan tetap menemani, mengikuti ke mana pun ia berada. Bahkan, meski berada di tengah-tengah keramaian. Semakin menolak suatu kenyataan, akan membuat sang penolak merasakan sakit yang berlebih dibandingkan menerima. Itulah mengapa, Nara lebih memilih menerima kesendirian itu sendiri sebagai bagian dari hidupnya.

Kairav merogoh saku, menyodorkan ponsel pada Nara. "Tolong ketik nomormu di sini. Nggak masalah, kan? Lagipula, kita satu angkatan."

Nara menatap bet yang terbordir di lengan seragam manusia bernama Kairav untuk memastikan bahwa laki-laki itu tidak berdusta. Setelah memberi asupan pada rasa penasarannya sendiri, ia meraih ponsel Kairav, mengetik cepat susunan angka hingga membentuk nomor telepon. "Udah."

"Thanks a lot. Iya, aku emang menjiwai banget jadi anak IPS, jiwa sosialnya dibawa kemana-mana." Kairav terkekeh. Ia tahu saat ini Nara malas berbicara dengannya, ingin cepat pergi karena merasa tak nyaman. Ia tahu, tapi semakin tahu, rasa penasaran semakin memuncak ingin mengetahui sebatas mana Nara bisa bertahan dari apa yang tak gadis itu sukai. Tangan Kairav terulur menepuk bahu Nara. "Entah kapan, tapi pasti. Kamu bisa berubah."

Nara menoleh, menatap heran sekaligus ngeri. "Maksud kamu?"

"Bukannya kamu juga pengin berubah? Kamu pengin bebas dari sesuatu yang ngekang dari dalam diri sendiri." Ponselnya dimasukkan ke dalam saku celana, Kairav tersenyum manis. "Kamu bisa sembuh dari apa yang kamu takutin selama ini, asalkan kamu mau." Bola mata laki-laki itu bergulir, menatap ke depan. "'Pengawal' kamu datang."

"Ai!" William terengah, berjongkok sembari mengatur detak jantung.

"Yuk, pulang. Tapi, aku ambil tasku sama William dulu di kelas," ujar Ethan, mengambil alih tas Nara yang tergeletak di atas meja kayu. Tatapannya singgah sejenak pada Kairav.

"Maaf jadi nunggu lama. Pak Joni ada-ada aja minta ngebersihin taman belakang sore-sore gini. Dihukum, tapi nggak dibayar," omel William. Tak sadar bahwa hukuman adalah hukuman, bukan pekerjaan dengan bayaran.

Nara mengangguk, mengetuk meja dua kali sebelum pergi bersama Ethan dan William. "Nara, IPA satu."

"IPA satu?" Kairav terdiam, sudut bibirnya tertarik ke atas. Ia mengamati Nara yang berjalan cepat, diikuti kedua 'pengawal' yang berjalan di kanan dan kiri gadis itu. "Menarik. Jarang nemuin orang yang gampang 'dibaca' sekaligus 'tertutup' rapat. Dan ... dia bilang, dari kelas IPA satu?"

Aoi'Nara'n [2020]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang