Bab 1. Bukan Bidadari Sattar

12.2K 448 9
                                    

Banda Aceh, Januari 2003

***

Namaku Hurun Aini. Statusku saat ini seorang istri, banyak orang mengistilahkan pernikahanku 'turun ranjang', tapi aku menyebutnya badal pengantin.

Menjadi badal pengantin itu ada enaknya ada nggak enaknya. Enaknya itu, kalau kita membadalkan sebuah pernikahan yang dilandasi rasa cinta, dapat suami pengertian, ikhlas meminang dan menjadikan kita sebagai istrinya. Dan yang nggak enaknya itu, jika kita membadalkan sebuah pernikahan yang tidak dilandasi rasa cinta. Apalagi jika selama pernikahan, suami tidak pernah memenuhi kebutuhan bathin kita sebagai istrinya.

Jika kebanyakan wanita mungkin akan meminta bercerai, tapi tidak denganku. Akadku diucapkan dihadapan Allah, dipersaksikan dan didoakan oleh malaikat. Demi Allah, aku akan menjaga pernikahan ini, kecuali jika dia 'suamiku' telah lebih dulu mengucap kata cerai.

Inilah kisahku.

***

"Aini ... Aini ...."

Suara itu ...

Jibran ...

"Aini ... Aini ...."

***

Mataku membulat sempurna, memandang pias langit-langit kamar yang tampak remang. Napasku beradu cepat, dengan detak jantung yang dua kali lebih kencang. Sepertinya, guratan merah masih tampak memenuhi sklera. Entah berapa jam sudah aku tertidur, dan akhirnya mimpi itu kembali membangunkanku.

Mimpi yang kerap kali menghampiri tanpa dipanggil. Lalu, rentetan kilasan kenangan yang terjadi tiga belas tahun silam, bak video yang diputar ulang dimimpi itu. Kenangan yang sampai detik ini masih tak sepenuhnya terhapus dari ingatan. Lelaki itu, pemilik senyuman dan suara termerdu.

Jibran ...

Rasanya baru kemarin lelaki itu mengutarakan perasaannya. Namun kini, semua bagai mimpi yang harus berakhir di tengah jalan. Kutarik nafas sejenak, membangkitkan tubuh lalu meneguk segelas air yang ada di atas nakas. Entah kenapa, meski air digelas itu sudah habis, rasa haus ini tak jua reda.

Kugerakkan tubuh menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Lalu netra ini diajak menelisir seluruh ruangan kamar yang cukup luas.

Sunyi.

Kamar ini bahkan mampu menampung dua tempat tidur sekaligus. Namun kenyataannya, hanya ada satu tempat tidur, yang penghuninya tak pernah melepas hasrat, juga diam seribu bahasa jika sudah saling bersitatap.

Kenapa? Ah, aku lelah dengan pertanyaan itu. Andai bisa kupungkiri, lebih baik aku tidur beralaskan tikar, asal ada yang menemani. Dibandingkan memiliki tempat tidur mewah, namun lagi-lagi harus bertemankan bantal.

Bukankah aku seorang istri?

Kuhela napas sejenak. Berusaha mengusir pikiran buruk yang sejatinya sudah kuusahakan mendamaikannya setiap waktu. Tapi tetap saja, syetan kerap kali membisikkan kata-kata yang paling dibenci dalam sebuah pernikahan. 'Perceraian!'

Sedikit kupaksakan tubuh menuju balkon. Aku ingin menetralkan perasaan sembari menghirup udara segar di luar sana. Menikmati pemandangan yang langsung menghadap ke jalan utama Mesjid Raya Baiturrahman, biasanya bisa membuat perasaanku tenang.

Bagiku, di kota ini tidak ada tempat seindah dan sedamai Mesjid Baiturrahman di kondisi malam hari. Kubah  yang menjulang tinggi, dipenuhi lampu yang berpendarkan cahaya kekuningan. Teramat indah dengan sebuah kolam kecil yang dikelilingi air mancur. Mesjid ini adalah tempatku mencurahkan kegelisahan.

Sepuluh menit mengedar pandang, ke seluruh penjuru mesjid, tiba-tiba manik mataku bergerak cepat saat sebuah Toyota Yaris berhenti tepat di depan pagar rumah. Tak lama, satpam yang tadi terlihat duduk di pos jaga, bergegas membukakan pintu gerbang.

Bukan Bidadari SattarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang