'Aku mulai mencemburui awan, karena mendapati kau terus memandangnya.'
Sattar.***
Siang ini, aku sempatkan diri singgah ke rumah diantara jam-jam istirahat. Entah kenapa seharian ini, perasaanku serba aneh. Parahnya lagi, entah sejak kapan aku mulai mengurusi jadwal Aini menyambut bayi sesar. Rasanya kalau tiap hari aku meributkan soal kecil begini, bisa-bisa aku dikira mencemburui dokter Jibran. Ah, memang iya aku mencemburuinya?
Ck!
Beberapa meter lagi sampai rumah, aku melihat seorang lelaki turun dari sebuah ojek tepat di depan pagar rumahku.
Kupelankan mobil dan berhenti di pinggir jalan. Lalu menurunkan kaca mobil sembari bertanya.
"Bapak cari siapa?"
Lelaki itu segera menoleh dan berjalan mendekati mobilku.
"Saya mencari seseorang di rumah ini," jawabnya pelan, "benarkah ini rumahnya Hurun Aini?"
Aku mendelik. "Benar. Ada perlu apa Bapak sama istri saya?"
"Oh, maaf. Jadi anda suaminya saudari Aini?"
Kuanggukkan kepala. Masih menanti penjelasan siapa dan apa perlunya dengan Aini.
"Saya kepala desa di kampung kelahiran Aini dulu, Lhokseumawe. Ini ada yang mau saya berikan untuk Aini. Benda ini sudah lama sekali sama saya. Mau saya berikan dari dulu, tapi saya tidak tahu alamat rumah Aini. Alhamdulillah, tadi sore seseorang mengabarkan saya keberadaan Aini, kebetulan dia bertemu Aini beberapa waktu lalu di rumh sakit."
Sedikit ragu, lelaki itu melangkah lebih merapat. Tangannya mengarahkan sebuah kotak padaku.
"Sebenarnya saya tidak ingin memberikannya lagi, karena saya tahu Aini sudah menikah. Tapi saya takut berdosa Pak, telah menyalahi amanah orang lain."
Kuambil kotak itu, "tidak apa-apa Pak, akan saya sampaikan nanti. Makasih ya, Pak."
Detik berikutnya, lelaki itu menghilang bersama laju ojek yang sedari tadi masih menunggunya.
Kelajukan kembali mobil memasuki pekarangan rumah. Sangat penasaran dengan kotak yang bertuliskan nama Ayatullah Jibran Siddiq dibagian depannya. Apa gerangan isi dari kotak ini. Apakah baju?
***
Fikri menyambut kedatanganku, kupeluk tubuhnya sambil menciumi pucuk kepala.
Selama setengah jam kuhabiskan waktu untuk menemaninya makan siang, setelah dia tidur. Aku berniat kembali ke rumah sakit. Namun, kotak tadi. Aku harus membukanya.
Pelan kubuka kertas pembungkus kotak, tak ingin membuatnya terkoyak, supaya nanti bisa kututup rapat kembali dan menyerahkannya pada Aini.
---
Assalamualaikum, Hurun Aini.
Aku disini bukan untuk diriku sendiri.
Aku disini karena ketakutanku pada Allah SWT.
Aku disini bukan tentang diriku sendiri.
Hanya berharap mendapat naungan Baginda Rasulullah SAW karena terus menjalankan sunnahnya.Aku disini bukanlah untuk diriku sendiri, tapi untukmu yang suatu saat nanti akan menjadi prioritas dalan hidupku setelah Allah dan Nabi.
Aku ingin kau menjadi perhiasan terindah dalam hidupku, yang kelak bersama-sama menggapai jannah menuju ridho-Nya.Ijinkan aku dengan segala perasaan yang dititipkan Allah ini membuat pengakuan.
Aku menyukai sejak pertama kali kita bertemu. Bukan aku tak ingin memilikimu, aku hanya ingin menjagamu hingga halal bagiku menyentuhmu. Dan saat ini, ijinkan aku mengatakan dengan segenap kejujuran, dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan maha Penyayang, jadilah pendamping hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Bidadari Sattar
Romance"Jika ranjang pengantin adalah simbol penyatuan dua kekasih halal, ada apa dengan ranjang pengantin kami? Tiap hari, tiap minggu, bahkan tiap tahun selalu dimubazirkan pemiliknya?" Hurun Aini