Bab 4. Lelaki Bernama Ayatullah Jibran siddiq

4.8K 356 2
                                    


***

"Lapor, Dok. Ada pasien post SC dengan riwayat pre-eklampsia yang membutuhkan penanganan segera."

Kuhentikan kegiatan menulis status pasien yang sedari tadi tengah kutekuni.

"Siapkan tindakan operasi. Lima menit lagi, saya kesana," ucapku sambil menutup dan merapikan segala berkas.

"Oya, Aini sedang tidak sehat. Hari ini dia tidak bisa masuk. Tolong sampaikan ke ruangan."

Bidan di hadapanku mengangguk, namun tak lekas pergi, justru kembali melempar suara.

"Ehm ... Ehm ... Sebulan ditinggal, saat kembali malah kelelahan ya, Dok?"

Mataku seketika menyorot tajam ke arah Bidan yang terkenal suka berguyon itu.

"Permisi, Dok." Entah kenapa, melihatku menatapnya tegas, dia segera pamitan meninggalkan ruangan.

Aku kembali merebahkan punggung pada sandaran kursi. Lalu menggerakkan kursi putar itu ke samping kiri. Tak jauh di depan, pada dinding yang bercat putih gading, sebuah cermin besar terpasang di atas wastafel.

Aku bangkit dan melirik wajah dari kejauhan.

"Apa maksud perkataan Kak Yu, apa dia berpikir Aini ...?" Kuhentak kakiku mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.

Kuussap wajah dengan kedua tangan. Dalam angan, sesuatu kembali bertanya. 'Kapan terakhir kali tanganku dikecup oleh seorang wanita, sepertinya sudah sangat lama. Ya, saat Hanna di dorong ke ruang operasi. Saat itu, dia mengecup tanganku sambil meminta maaf.

Melihatnya kesakitan, jiwaku antara ingin menangis dan tersenyum. Tersenyum karena sesaat lagi, sosok yang sangat kami rindukan akan hadir di dunia. Namun ingin menangis, karena khawatir akan keselamatan Hanna nanti di atas meja operasi. Terlebih, dengan diagnosa yang di derita, persalinan SC atas indikasi placenta previa.

Hampir sembilan bulan aku tak mendekatinya, karena plasenta yang menutupi hampir seluruh jalan lahir. Tapi demi Hanna dan janin yang sudah lima tahun kami nanti, aku sanggup menahan diri.

Setelah kepergian Hanna, nyatanya aku memang memiliki tempat untuk menyalurkan kebutuhan biologis. Tapi, tempat itu seolah tak ada. Aku tak menemukan keinginan untuk menyentuhnya.

Hufht!

Jemari tangan kini menekan kedua bola mata. Jika mengingat semua itu, terlebih detik-detik kepergian Hanna, jantungnya selalu berdegup kencang.

Aku meneguk air di atas meja. Tiba-tiba, saat-saat itu kembali terlintas.

"Uterusnya tak berkontraksi, Dok."

"Tambahkan oksitosin. Drip dua ampul. Suntikan metergin. Siapkan transfusi darah!"

Tanganku tak henti bekerja, terus mencari cara agar rahim Hanna mau berkontraksi, sehingga darah yang mengucur deras bak keran itu bisa segera berhenti.

"Jangan menyerah, Dek. Fikri menunggu ASI dari Mamanya . Sekarang Adek harus berjuang, ya."

Kusemangati dia kala itu, yang tampak lemah dan tak mampu lagi membuka mata.

"Buka mata Adek ...."

Dadaku begitu sesak, bayangan di ruang operasi kembali serasa ada di depan mata. Perawat yang lalu lalang, selang infus berisi darah, monitor denyut jantung yang terus melemah.

"Jangan tidur, Dek. Buka mata Adek. Buka, Dek ... Buka mata Dek ...!"

Deg!

Deg!

Bukan Bidadari SattarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang