Pov Sattar"Demi Allah, Aini, Abang ingin belajar untuk mencintaimu."
Fathy Abdus Sattar.***
Kurebahkan tubuh setelah kepergian Jibran, rasanya kepala ini masih terasa berat. Tapi tak lama, pintu ruangan kembali terbuka, Aini muncul di sebaliknya. Kubalikkan badan menghadap tembok, saat tahun dia melangkah masuk dan berjalan mendekatiku.
Ah, ternyata aku sepayah ini? Kurasa jika yang jadi istriku gadis lain, sudah dari dulu aku ditinggalkan. Tapi Aini? Benar yang ibunya katakan dahulu, dia memang tak sebaik Hanna, tapi dia istimewa.
"Aini mau bicara, Bang?" ucapnya tegas, menyingkirkan segala pikiran yang menggerayang sedari tadi.
"Bicara aja?" Aku menjawab sekenanya saja. Jujur dalam hati, bukan begini ekspresi yang ingin kutunjukkan.
"Aini mau bicara sama Abang, bukan sama tembok?" sanggahnya cepat.
Kuhela napas sambil membalikkan badan. Mengarahkan bola mata pada netranya sejenak, lalu memilih menatap televisi mati.
"Ucapan cerai Abang semalam, apa benar itu keluar dari hati Abang yang paling dalam?"
Sesaat hening, aku sudah tahu pasti dia akan mempertanyakan perkataanku semalam. Harus bagaimana aku menjawab?
"Abang bilang jika kamu masih mencintainya, maka lebih baik kita akhiri saja pernikahan ini."
Kuulang kembali apa yang kuucapkan semalam. Aini tampak mendesah."Kenapa sih Abang terus mempertanyakan perasaan Aini? Sekarang Aini balik nanya ke Abang, apa Abang udah melupakan Kak Hanna?" teriaknya sambil menatap tajam mataku.
Deg! Sesuatu kembali menghujam dadaku saat ia menyebut nama Hanna! Kupilih untuk berdiam diri.
"Huh!" Aini berdecak sebal lalu membalikkan badannya.
Entah apa yang mendorong tubuhku saat melihatnya ingin pergi. Tangan yang masih terpasang infus tergerak untuk menghentikan langkah gadis itu.
"Lepas! Sudah cukup Aini menjadi hiasan di rumah Abang! Aini capek! Untuk apa Aini bertahan, sementara di hati Abang cuma ada nama Kak Hanna!"
Aini menghentak tangannya kuat, tapi aku tak melepas, justru semakin kuat menggenggam.
"Lepas!"
Dia menghentak kembali tangannya sambil mengulang kata 'lepas, Bang!'
Ada rasa sakit yang tak bisa kujelaskan.
Mungkin melepaskan dan membiarkannya pergi adalah yang terbaik. Aku tak ingin dia lebih sakit, jika tetap berada di sisiku.
Aini berlari menggapai gagang pintu, berbalik menatapku dengan air mata yang membasahi niqabnya.
Kupejamkan sejenak mata ini. Aku sudah membiarkannya pergi, menghilang dari pandangan.
Sambil menghela napas, kuatur degup di dada yang begitu kuat.
"Aini ... Andai mulut ini tak seterkunci seperti sekarang, aku ingin meminta maaf. Maaf untuk luka yang tiap saat selalu basah oleh air mata tulusmu, luka yang selalu terhapus oleh luasnya kasihmu. Andai dosaku padamu seperti hujan, masihkan kau bersedia menjadi bumiku? Karena sesungguhnya padamulah tempat ternyaman, bukan untuk kusinggahi, tapi untuk kutempati ...."
Teriakan namanya menggema dalam hatiku. Demi Allah, Aini, Abang ingin belajar untuk mencintaimu.
***
Setengah jam aku bolak balik di atas ranjang. Perasaanku begitu gusar. Wajah Aini berlinang air mata terus terbayang. Kugerakkan tubuh, mungkin kunci ketenangan adalah kejujuran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Bidadari Sattar
Любовные романы"Jika ranjang pengantin adalah simbol penyatuan dua kekasih halal, ada apa dengan ranjang pengantin kami? Tiap hari, tiap minggu, bahkan tiap tahun selalu dimubazirkan pemiliknya?" Hurun Aini