Bab 3. Bukan Aku

4.7K 306 0
                                    

Tetunduk kekasih halal.

Cinta adalah sebuah misteri. Ketika kau terus mengalihkan hatimu, cinta takkan teralih. Dia terus membuka mAwwatamu hingga hatimu luluh. Jangan Abaikan ia, karena Allah menitipkan rasa itu untuk menyempurnakan hidupmu.

***

Sayup, azan pertama terdengar dari Mushalla tak jauh dari komplek perumahan ini. Tubuhku meriang, menahan rasa sakit pada perut yang tak berkesudahan. Semalam aku melampiaskan kegalauan karena diacuhkan Bang Sattar pada semangkuk indomie pedas full cabai rawit. Alhamdulillah, galau berlalu, tapi mules menerpa.

Tak mengapa, setidaknya yang kulakukan ini mampu menepis rasa cemburu pada Kak Hanna. Kakak kandungku sendiri yang telah tiada.

"Ini semua karena Bang Sattar. Abang harus tanggung jawab!" jeritku sambil menutup muka dengan bantal.

Tiba-tiba pintu kamar terketuk. Aku berjuang untuk bangkit membuka pintu itu.

"Maaf Bu Aini, Bik Ina menganggu. Bibik cuma mau nanya, jadi toh masak gulai pliek pagi ini?"

Aku meringis menahan sakit saat perut bergoyang ketika berjalan.

"Jadi Bik, tapi Aini lagi mules ini, bolak balik kamar mandi," ucapku sambil merintih.

"Apa kita tunda aja, Buk?"

"Jangan, Bik. Soalnya ini kejutan buat Bang Sattar, nanti malam dia 'kan ulang tahun. Aini mau masakin dia masakan kesukaannya. Bentar lagi Aini keluar ya, Bik. Kalau udah sedikit baikan."

"Baik kalau gitu, Buk. Bibik ke dapur dulu, ya?"

Aku kembali menutup pintu. Perlahan berjalan ke atas ranjang lalu kembali meringkuk dalam selimut. Tak lama, pintu kamar kembali berderit. Kugerakkan kepala sedikit melongok dari balik selimut.

"Bang Sattar?"

Mataku membulat melihat Bang Sattar masuk ke kamar. Biasanya, ia tak pernah masuk ke kamar ini pagi-pagi. Oh, pernah sekali. Itupun saat aku sedang sibuk di dapur.

Kuperhatikan langkahnya, dia sedikit gegabah. Sepertinya lelaki itu mau ke kamar mandi.

'Astaghfirullah, aku lupa mengisi air di bak mandi kamar Fikri. Kemarin 'kan aku baru habis membersihkan ruangan itu. Pasti dia kesal banget.'

Ah, mungkin ini jalan Allah, supaya dia tahu jika aku sedang sakit. Haruskah aku mengatakan padanya?

"Bang." Kupanggil Bang Sattar pelan.

Ia berhenti melangkah, kini wajahnya melirik ke arahku.

"Tolong ambilkan minyak kayu putih di atas meja rias sebentar."

Suaraku kini persis suara pasien-pasien di rumah sakit. Ah, biarlah!

Bang Sattar berbalik ke meja rias dan mengambil apa yang kuminta. Lalu berjalan kembali ke ranjang.

"Kamu sakit?" tanyanya sedikit cepat.

"Iya, Bang. Perut Aini sakit."

Mendengar jawabanku, Bang Sattar justru berbalik dan berjalan menuju kotak P3K. Lelaki itu kembali ke ranjang dengan sebutir obat di tangan.

"Minum ini." Bang Sattar menyodorkan obat berwarna hijau dan segelas air ke arahku.

"Kalau sakit perut minum obat lambung, jangan cuma ngolesin minyak kayu putih," ucapnya setelah aku mengambil obat di tangan dan meneguknya.

"Kalau nggak sanggup kerja, pagi ini libur aja. Biar Abang yang kasih tau pegawainya nanti."

Aku hanya mampu terdiam, jika biasa aku selalu mencari-cari benda untuk ditatap saat berbicara dengannya. Tapi pagi ini sesuatu membuatku ingin menatap matanya.

Spechless, Bang Sattarpun menoleh ke arahku, sehingga beradulah tatapan kami sejenak. Hanya beberapa detik, lelaki itu buru-buru membuang wajah.

'Kenapa kamu terus menghindar, Bang? Mau sampai kapan?'

Kututupi kembali tubuh ini. Kesal, sedih, sakit, semua rasa itu bercampur satu di dalam dada. Andai tak kuingat bahwa pernikahan itu adalah sebuah perjanjian yang teguh, sudah kuajukan khuluk baginya.

Sampai kapan dia akan terus mengacuhkanku begini? Aku istrinya, tidakkah dia paham, bahwa aku menyuruhnya mengambil minyak ini agar dia bisa meringankan sejenak tangannnya. Mengolesi di bahuku.

'Aku bukan butuh obat. Aku butuh kamu, Bang!'

Lagi-lagi, batinku menjerit kuat. Di dalam selimut, air mata tumpah ruah membasahi pipi. Kubekap mulut dengan erat . Tak ingin isakan ini terdengar oleh telinganya.

'Andai bisa memilih, aku ingin menjadi kamu Kak. Aku ingin dicintai, aku ingin di sayang dan dilindungi. Kapan Kak ...?'

***

Mataku perlahan terbuka, langit-langit berwarna putih nampak dipandangan. Seketika tubuhku terduduk di atas ranjang, sambil, sambil netra melirik jam yang menempel di dinding.

"Astaghfirullah, sudah jam sembilan pagi, karena sakit aku jadi ketiduran," lirihku kesal.

Segera aku menyambar ponsel yang ada di atas nakas. Memilih kontak lalu mencari sebuah nama, 'Fathy Abdus Sattar.'

[Assalamualaikum, Bang.]

Kukirimkan sebuah pesan padanya. Entah kenapa hati ini merasa tadi sebelum berangkat, Bang Sattar kembali lagi ke kamar ini.

[Waalaikum salam.]

Balasan pesannya terkirim dengan cepat.

[Abang udah sampaikan belum ke ruangan, kalau Aini sakit?]

[Udah.]

Suasana hening, sesaat telpon terasa senyap.

[Fikri, kok nggak pamitan sama Aini?]

[Abang yang larang, kamu tadi tidur.]

[Owh.]

Telpon terasa hening kembali. Kami seolah tidak menemukan kata-kata untuk dibicarakan.

[Abang ada jadwal operasi.]

Huh! Masih sangat ingin mendengar suaranya..

[Ohyaudah, Bang. Semoga sukses.]

[Iya.]

Bang Sattar menutup telpon. Sementara di ujung sini, aku memeluk bantal dengan kuat. Air mata ini mulai berderai, entah perlakuan mana yang membuatku ingin menangis. Jika tak pikirkan kebaikannya selama ini, juga tak mengingat pesan terakhir ibu, mungkin aku sudah tak lagi di rumah ini.

"Kapan Abang akan peka, jika Aini sangat merindukan sosok seorang suami. Suami yang menyayangi, melindungi, dan mencintai. Bukan

Bukan Bidadari SattarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang