Bab 17. Kita Suami Istri

5K 328 32
                                    


'Buat apa gengsi, lebih baik duluan daripada kehilangan.'
Hurun Aini.

***

-----Entah dari mana keberanian ini muncul. Sebab yang kutahu, jangankan *******, ***** ******** saja aku tak pernah.

Apa mungkin karena aku tak ingin kehilangannya? Ya, jika ia tak melepas, akupun takkan melepasnya sampai kapanpun. Sejak kata 'sah' diucap dihari pernikahan, aku sudah membaiat cinta hanya untuknya. Kukubur angan tinggi yang pernah terbangun bersama Jibran, lalu mematri di dalam hati ketaatan dan kecintaan padanya, lelaki yang sudah memintaku menjadi istri pada Allah.

Apapun keadaan lelaki itu, sebathil apapun kelakuannya padaku, asal tidak melukai fisik dan menentang syariat, kucoba mendamaikan dengan doa. Sekarang, saat setitis asa mulai terlihat, apakah aku akan melepasnya.

Tidak!

Justru aku akan semakin erat menggenggam. Jika dia tidak tahu cara meminta, maka aku yang akan meminta. Jika dia lupa cara mencintai, maka aku yang akan mengajarkannya. Bukankah istri penyempurna iman seorang suami.

Detik terasa membeku. Ku******* *******, meluruhkan amarah dan kesedihan yang semenjak semalam tak mau beranjak sepenuhnya. Tadinya kupikir Bang sattar akan melepas tangan ini, tapi aku salah. (sensor).

Siapa yang ingin melewatkan kesempatan langka ini, segera saja (sensor). Biarlah terlihat lebih *******! Yang nggak halal aja sibuk mesra-mesraan, aku dan dia yang sudah halal, kenapa harus merasa sungkan.

Kupejamkan mata sejenak, keadaan ini nyatanya telah membuat gerimis berjatuhan di kedua sudut mata. Jika ditanya apa yang membuatku menangis, bukan semata karena diacuhkan bertahun-tahun, tapi karena aku merasa bersalah, telah membiarkan suamiku menderita seorang diri. Pasti sulit sekali baginya menyembunyikan trauma yang pernah dialami dari semua orang. Terutama dari pasien-pasiennya.

Bagaimana bisa ia terlihat kuat, sedang sesuatu yang sangat ia takuti harus ia jalani setiap waktu.

Tindakan operasi!

Bukankah Bang Sattar trauma pada tindakan operasi yang dia lakukan? Lalu bagaimana selama ini ia bisa memberhasilkan tiap tindakan operasinya. Subhanallah! Mulutku mulai bergetar, aku ingin bertanya, menanyakan apapun, tentangnya. Tentang perjuangannya selama ini, tapi aku bingung, tak tahu harus memulai dari mana.

"Apa Abang pikir menghindari Aini bisa membuat Abang melupakan semuanya?"

Pertanyaan pertama.

Kuacuhkan pertanyaannya beberapa detik lalu, 'meminta kesempatan kedua', aku justru melempar pertanyaan lain.

Bang sattar bergeming, tapi jemarinya mulai membalas ********** jemariku.

'Ya Allah ...." Air mata ini kembali berderai.

"Maaf ...," ucapnya lagi.

'Apa lelaki ini cuma bisa minta maaf!' sesalku dalam hati. Tapi, seperti ini saja sudah cukup. Aku sudah sangat bahagia. Andai tak ada yang menghalangi, aku ingin dia menyempur ...

Tit ... Tit ...

Dering ponsel Bang Sattar membuat kami saling terhenyak. Dia memiringkan wajahnya, aku semakin menunduk, sedang tangan (sensor).

(Sensor) ini bikin baper habis.

Tak lama, ponselkupun ikut-ikutan berbunyi.

"Angkat dulu, telponnya."

Suara Bang Sattar membuatku melepas tangan dari ********. Dia berbalik dan tampak kikuk sambil memandangiku. Lalu ia mengambil benda pipih dari saku celananya yang kini berbunyi untuk kedua kali.

Bukan Bidadari SattarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang