Bab 22. Rasa Yang Mulai Hadir

4.2K 313 34
                                    


Pov Sattar

"Sebegitu besarkah cintanya pada Jibran, hingga perasaanku ia abaikan?"

***

Mungkin, permintaanku padanya agar pindah tempat kerja sangat berlebihan. Tapi ini demi kebaikan bersama. Bukan, lebih tepatnya demi aku.

Aku tahu, Jibran masih sangat mencintainya, dan itu sangat mengganggu perasaan hatiku. Meski pernah mengabaikan, tapi kini aku ingin belajar mencintainya. Akan kuusahakan membahagiakan Aini dengan segala yang aku punya.

***

"Kenapa harus pindah, Bang?"

Deg!

Jantungku mulai berpacu kencang. Entah kenapa bisa secepat ini tubuhku bereaksi terhadap hal-hal yang bertentangan dengan keinginanku.

"Apa karena Jibran?" tanyanya lagi.

Aku memilih menatapnya tajam sambil terdiam. Dia menunduk.

"Aini udah nyaman Bang disitu, semuanya udah seperi saudara ...," keluhnya lirih.

Kusandarkan kembali punggung pada kursi. Jantungku semakin berdetak cepat. Kuatur napas agar bisa memberi energi positif.

Kuyakinkan diri bahwa ini bukan diriku, aku tak begini. Ini bukan aku. Aku harus bisa berdamai dengan pertentangan.

Ah, sulit! Degup di dada malah bertambah kencang.

Tanpa menggubris ucapan Aini, mobil kembali kuhidupkan. Sedikit cepat aku melajukan kendaraan kini. Tanpa berkata apapun, aku hanya tak ingin memperpanjang perdebatan.
Sudah pasti Aini akan bersikeras untuk tetap bekerja di rumah sakit itu! Jadi sebaiknya, aku tutup saja pembicaraan.

"Bang ...."

Aini memanggilku. Tak kujawab.

"Aini ...,"

"Udah cukup! Nggak usah dibahas lagi!" potongku dengan nada sedikit keras. Dia tersentak, matanya kembali berkaca.

Ck!

Terserahlah!

Pandanganku kembali fokus pada jalanan. Lima menit melaju dengan keadaan sepanas persidangan pemilihan presiden, nampak di pinggir jalan sebuah rumah makan Padang.

Kuberhentikan mobil di depan rumah makan itu. Tanpa berkata apapun aku turun. Bukankah tadi katanya dia laparr?

***

Sudah lima menit aku duduk di dalam rumah makan ini, tapi Aini tak jua turun! Kuhela napas sambil mengetuk-ngetuk meja. Dulu, saat pertama kali divonis PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) oleh dokter, aku tak percaya.

Tapi lama kelamaan, aku kembali pada dokter yang menurutku sudah salah mendiagnosa itu. Aku kembali karena segala perubahan yang terjadi pada tubuhku begitu mengganggu.

Aku membenci pekerjaanku sebagai dokter, tiap kali hendak menangani operasi, jantungku berpacu kencang, keringat mengalir deras. Apalagi kalau sudah menangani komplikasi hebat, perasaan bersalah dan rasa takut membuat tanganku bergetar. Untuk menutupi perasaan itu, aku bisa marah-marah nggak jelas pada seluruh tenaga medis, meski hanya karena mereka salah mengarahkan alat padaku.

Dan, perubahan yang paling menganggu kehidupanku adalah aku membenci Aini. Entah kenapa, tiap kali melihatnya selalu mengingatkanku pada Hanna.

Ah, dua bulan lamanya aku merasa sebuah parasit sedang hidup dalam tubuhku. Dan akhirnya bulan ketiga, aku mengikuti saran dokter agar melakukan terapi khusus untuk meringankan gejala. Hingga tekhnik EMDR (Eye Movement Desensitization Reprocesing) dilakukan, gejala trauma masih saja kerap muncul. Pada akhirnya, dokter memadukan terapi perilaku kognitif dengan obat antidepresan.

Bukan Bidadari SattarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang