Pov aini
***
"Udah siap?"
Aku membelalak menatap sosok yang selama ini begitu dingin berdiri di ambang pintu kamar. Dengan tergesa aku menarik cadar yang tergantung lalu mengikat kedua ujung talinya di belakang kepala.
"Fikri gimana, Bang?" tanyaku sambil melangkah keluar.
"Panasnya udah turun, nanti biar ditemani Bik Ina aja. Adek piket kan hari ini?"
Hah? Untuk kedua kalinya, mata ini ingin menyembul keluar. Kenapa Bang Sattar bisa tahu jika hari ini aku piket? Apa jangan-jangan selama ini dia juga tahu hari-hari dimana aku harus stand by di rumah sakit? Wah, berasa diperhatikan diam-diam.
"Pakeun neu khem-khem (Kenapa senyum-senyum)?" tanyanya lagi.
"Em ... hana sapue (nggak kenapa-kenapa), Bang. Aini ke kamar Fikri dulu ya. Mau sekalian pamit kerja."
Secepat kilat aku menghilang di hadapan lelaki itu. Sampai di kamar Fikri, kututup pintu perlahan, ternyata benar bocah itu masih tertidur dan panas tubuhnya juga sudah turun.
Melihat Fikri, hati tak henti ingin besyukur. Tersebab melaluinyalah, aku bisa merasakan nyaman seranjang dengan Bang Sattar, meski nggak ngapa-ngapain.
Selarik senyum terkembang saat kembali mengingat kejadian semalam. Ah, Pagi inipun perut terasa masih penuh. Sebenarnya aku biasa membuat nasi goreng, dan tiap pagipun Bang Sattar selalu menikmati nasi goreng buatanku. Yang beda, karena semalam kami menikmati makan tengah malam berdua, hanya berdua. Meski diam-diam, tapi begitu romantis.
Kugeleng-gelengkan kepala, bisa-bisanya berpikir mesum pagi-pagi buta.
Kini langkahku kembali keluar kamar dan langsung menuju mobil.
"Kenapa lama, Dek? Sarapan lagi?" tanya Bang Sattar saat aku sudah duduk di kursi depan.
Aku menggeleng tanpa menjawab, rasanya malu jika harus membicarakan sarapan.
"Kenapa?" Bang Sattar kembali melempar pertanyaan sambil menatapku.
"Tadi ... Fikri hampir terbangun, jadi Aini duduk lama."
Ah, jadi juga bohong. Masak iya harus jujur, kalau aku lama di kamar karena asyik mengingat-ngingat kejadian semalam.
"Oh yaudah, kita berangkat sekarang ya."
'Allah, aku pernah sangat mendoakan akan sampai pada saat ini. Dan doa itu, kini telah Engkau ijabah. Terima kasih Allah.'
***
Kami sampai di parkiran rumah sakit, aku yang bagai duduk di meja sidang sedaritadi segera berniat turun ketika deru mobil terhenti.
"Tunggu bentar, Dek."
Bang Sattar menahan tanganku saat aku hendak membuka pintu mobil. Kuurungkan keinginan lalu kembali duduk. Dia berdehem beberapa kali, seperti ingin menyampaikan sesuatu. Lalu tubuhnya sedikit berbalik, meraih jas namun tak jadi. Aku bingung melihat gelagapan sikapnya. Sebenarnya Bang Sattar mau menyampaikan apa?
Kuluangkan waktu sedikit lagi untuk menunggu. Tiba-tiba, sebuah kecupan singkat mendarat di kening, jantung inipun seakan berhenti memompa.
Aku menatapnya tanpa kata. Sedang dia, terlihat tak acuh, pandangannya lurus ke depan.
"Kok nyium kening nggak permisi?"
'Astaghfirullah, mulut ini. Harus dicabein kayaknya.'
Dia menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Bidadari Sattar
Romansa"Jika ranjang pengantin adalah simbol penyatuan dua kekasih halal, ada apa dengan ranjang pengantin kami? Tiap hari, tiap minggu, bahkan tiap tahun selalu dimubazirkan pemiliknya?" Hurun Aini