***Pov sattar
"Badannya panas, air mata mengalir di kedua sudut. Kurasa dia demam karena terlalu lama memakai gamis dan hijab yang basah oleh hujan. Tapi aku bersyukur, karena dia sakit, aku bisa menemaninya. Dan malam itu menjadi malam pertama kami."
***
Kami berpisah di depan kamarnya. Masih canggung, harusnya aku langsung masuk ke kamar itu, tapi rasa sungkan menuntunku untuk melepas tangan Aini, dan membiarkan dia masuk ke kamarnya sendiri. Sedang aku, seperti biasa, memilih mandi dan mengganti pakaian di kamar Fikri.
"Sepertinya Fikri masih tidur, biar nanti Abang yang urusin. Kamu ganti pakaian terus, biar nggak masuk angin."
Ucapanku ditanggapinya dengan anggukan, dan helaan napas. Lalu dengan tak semangat dia berbalik dan mamasuki kamarnya.
Huh!
Ada yang begitu menyesaki dada, andai aku bisa bersikap normal padanya, pasti malam ini kami menghabiskan malam berdua. Apalagi hujan begini, pasti begitu syahdu.
Ah! Kugeleng-gelengkan kepala, membuang pikiran mesum yang hendak mampir di jiwa.
Segera langkah ini memasuki kamar. Membuka pintu perlahan. Dan, benar saja, Fikri masih tertidur pulas. Kalau urusan tidur, ia tidak menuruni sifatku, ia tahan banting terhadap suara apapun. Sekalipun sebesar ledakan bom tersengar di samping, tidak akan membuat tidurnya terganggu. Hanya satu yang bisa membuat Fikri terbangun dari lelapnya tidur, 'pipis'.
Setelah mandi dan mengganti pakaian, kurebahkan tubuh di sisi Fikri. Mataku lekat menatap bocah itu. Selintas bayang Hanna kembali muncul.
"Dek, Abang minta maaf, Abang nggak bisa lagi bertahan untuk terus mengunci perasaan Abang. Abang harus mengakui, kalau sekarang Abang sangat mencintai adikmu, Aini. Ijinkan Abang melaksanakan tugas Abang sebagai suaminya, Dik ...."
Kurahup wajah setelah berbicara seorang diri. Sambil menghela napas mencoba untuk memejamkan mata.
Sulit!
Bayang-bayang Aini terus menari bagai putaran film di layar lebar. Senyumnya, tangisnya, aku jadi merindukannya.
Sejenak menarik napas sambil mengingat-ngingat hal lain. Ck! Tetap saja Aini yang terus terlintas.
Menyerah!
Akhirnya aku bangkit duduk bersandar pada kepala ranjang. Otak mulai bepikir bagaimana cara agar aku bisa ke kamar Aini, harus dengan alasan apa? Mandi dan ganti baju sudah. Aha!
Aku bangkit dari duduk, lalu mulai membuka baju kaos.
Kupandangi wajah di depan cermin, memalukan sekali ide ini.
'Kan dia tahu, aku punya dua lemari, satu di kamarnya dan satu lagi di kamar Fikri. Dan kedua lemari itu berisi pakaian. Aneh aja kalau harus handukan ke kamarnya dengan alasan nggak ada pakaian.
Timbul ide lain!
Aku turun ke dapur, mengiris sebilah jahe, mencuci dan menggeprak dengan batu cobekan. Sepuluh menit aku merebus benda itu hingga mengeluarkan bau khas.
Setelah mematikan kompor, kutambahkan sedikit gula, aduk, lalu menuang ke dalam dua gelas.
'Sepertinya ini ide bagus!'
Langkah kini kembali menaiki tangga, sampai di depan kamar Aini, kutarik napas sejenak. Kuketuk pintu perlahan. Satu ketukan, pintu tak terbuka. Aku ketuk kedua kali, masih tak dibuka.
'Apa Aini sudah tidur? Baiknya aku coba buka sendiri.'
Pintu kini terbuka perlahan, Aini tak menguncinya. Tampak di pandangan, gadis itu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Kudekati ia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Bidadari Sattar
Romance"Jika ranjang pengantin adalah simbol penyatuan dua kekasih halal, ada apa dengan ranjang pengantin kami? Tiap hari, tiap minggu, bahkan tiap tahun selalu dimubazirkan pemiliknya?" Hurun Aini