Bab 13. Maafkan Aku

4.3K 307 21
                                    

Pov Aini

"Katakan satu hal pada Ana, ukhty Aini. Apakah ukhty pernah mencintai Ana walau sebesar debu?"
Ayatullah Jibran Siddiq.

***

Pagi ini aku bangun lebih cepat, bukan. Bukan bangun, karena memang semalaman aku tak tidur. Tepatnya keluar kamar lebih cepat.

Sepanjang malam aku menghabiskan waktu di atas sajadah. Segalanya, tentang kemelut batin yang tak sederhana, bagaimana aku terus berkarib dengan kesabaran, juga tentang luka yang sepanjang hati berceceran. Semua kuadukan pada-Nya, pemilik suka dan duka. Meski tak sempurna menenangkan, tapi cukup membuat mata ini berhenti menumpahkan isinya.

Kata pisah yang diucapkan Bang Sattar semalam, aku harus mendapatkan penjelasan.

Apakah benar dia bermaksud ingin menceraikanku. Jika memang ia serius dengan ucapannya, maka aku akan pergi. Aku tak ingin menjadikan talak satu yang memungkinkan pasangan kembali dalam masa iddah, terjadi pada kasus kami ini. Aku akan menganggap peristiwa ini sebagai salah satu alasan untuk memilih jalan berpisah.

Kubuatkan nasi goreng dengan menu orak arik ayam. Sikap diamku yang menghias dapur pagi ini, membuat Bik Ina terus salah tingkah. Beberapa kali ia menjatuhkan barang-barang yang ada di tangannya. Entah mungkin perempuan itu bisa menebak bahwa aku sedang tidak dalam keadaan baik.

Selesai memasak, seperti biasa aku kembali ke kamar untuk melaksanakan shalat subuh.

Setelah selesai berpakaian, kubuka pintu kamar sambil melirik kamar sebelah, tempat Fikri dan Bang Sattar tidur. Lampu kamar sudah menyala, menandakan penghuninya sudah terbangun.

Aku menutup rapat pintu. Jika mengingat lelaki itu, hati ini kembali diselimuti rasa perih. Bagaimana caraku meminta pertanggung jawaban ucapan Bang Sattar semalam? Haruskah aku yanh menemuinya?

Kuhela napas panjang sambil menyiapkan tas kerja. Sayup kudengar suara Fikri di luar kamar. Aku membuka pintu dan memastikan keberadaan bocah itu.

Bik Ina tampak menemaninya.

"Mama ...," teriak Fikri saat melihat aku membuka pintu. Kusenyumi sambil merenggangkan kedua tangan. Fikri berhamburan dalam pelukanku.

"Susu, Ma?" rengeknya. Kugendong bocah itu sambil kembali ke kamar membuatkan Fikri susu.

Setelah menunggui Fikri menghabiskan susunya. Kuajak dia turun. Aku masih berharap Bang Sattar turun untuk memperjelas semuanya.

***

Sarapan selesai, meja sudah dibereskan, Bang Sattar belum juga keluar dari kamarnya.

Kesal! Rasa di dada ini tak lagi dapat tergambarkan. Aku tidak pernah membencinya, seburuk apapun kelakukannya padaku selama ini. Tapi sampai sini, aku merasa telah salah mencintai lelaki itu, dan sepertinya aku memang harus mengubur harapan akan keajaiban pada perubahan sikapnya.

Berat rasanya pergi tanpa berbicara dengan Bang Sattar, tapi apa boleh buat. Dia bahkan tak ingin keluar kamar. Kuputuskan untuk mengantar Fikri seorang diri, baru setelahnya ke rumah sakit.

Tak lupa, kotak surat dari Jibran kubawa serta bersama. Hari ini cincin yang harusnya tidak ada padaku ini, akan kukembalikan pada pemiliknya. Aku tidak pantas memegang benda ini terlalu lama.

Mesin mobil telah kupanaskan. Sebelum menjalankan kendaraan beroda empat ini, mataku masih sempat melirik ke atas, ke arah kamarnya Bang Sattar. Benarkah itu?

Tirai jendela yang masih tertutup seluruhnya tersibak pada bagian sudut. Meski sangat kecil bagian yang terbuka itu, namun aku bisa melihat, wajah Bang Sattar ada disebaliknya.

Bukan Bidadari SattarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang