Pov Aini***
Sudah lebih satu jam aku menunggu Bang Sattar di rumah sakit. Padahal berita terakhir yang kudapat, poli kebidanan hari ini tutup. Dikarenakan pihak rumah sakit tidak tahu jika Bang Sattar sudah sehat dan hari ini mulai kembali bekerja.
Kesal berlapis-lapis menimpa dada.
'Jika tempat yang seharusnya di tempati bang Sattar hari ini diliburkan, berarti kemana suamiku itu pergi? Apa sih susahnya memberitahu, padahal kami 'kan satu tempat kerja? Atau jika terlalu berat untuk bertemu langsung, seharusnya dia 'kan bisa mengabarkan melalui telpon? Uh! benar-benar kesal Aini sama Abang ...!' gerutuku dalam hati.
"Apa buatnya, semalam dan tadi pagi itu nggak berarti apa-apa?'
Ah, pastinya memang nggak berarti. Bukankah sebelum bersamaku, dia sudah lebih dahulu hidup bahagia bersama seseorang. Lima tahun, bukan waktu yang singkat.. Apalah artinya kalau cuma tidur seranjang terus nggak ngapa-ngapain, atau kecupan singkat yang seperti memukul nyamuk! Ah, kenapa tiba-tiba jadi mencemburuimu Kak? 'Maafkan Aini Kak ... Andai Bang Sattar bisa menjaga perasaan Aini, tentu tak sampai begini perasaan Aini buat Kakak. Maaf ...."
Kroookkk!
Tiba-tiba suara cacing terdengar menghentak dalam perutku.
'Semua ini gara-gara Bang Sattar! Harusnya tadi Aini nggak usah terlalu berharap bisa makan siang di luar sama Abang. Hiks ....'
Tak tahan terus didera perasaan buruk, akhirnya aku bangkit dari duduk. Mengambil tas dan melesat keluar ruangan.
Kulangkahkan kaki dengan lemas menuju pintu gerbang. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul tiga sore hari. Enaknya sih mengisi perut dulu di kantin sebelum pulang. Tapi yasudah nanti saja di rumah. Yakin hatiku.
Saat hendak memberhentikan sebuah becak yang melintas di jalanan. Mataku bergerak cepat pada sebuah kendaraan roda empat yang mengekor di belakang becak itu. Kendaraan bermerek Toyota Yaris berwarna silver kini tepat berhenti di belakang becak yang lebih dahulu menepi.
"Bang Sattar?"
Senang campur kesal, dua rasa itu kini melebur menjadi satu di dalam dada.
Bang Sattar turun dari mobil dan berjalan mendekati becak.
"Jadi, Dek naik becaknya?" tanya tukang becak itu memastikan padaku.
"Nggak jadi Pak, saya suaminya," potong Bang Sattar cepat. Mataku kini teralih padanya.
"Oh yasudah."
Tukang becak itu berlalu pergi, lalu Bang Sattar kembali berjalan tiga langkah hingga sampai di tempatku berdiri.
"Yok pulang," ajaknya santai.
"Aini belum mau pulang!" Kubantah ajakannya dengan tegas.
"Lho? Emang mau kemana lagi, biar sekalian Abang yang antar?"
Mataku membidiknya tajam! Apa lelaki ini nggak merasa jika darahku sedang mendidih karena memikirkan sikapnya sedari pagi.
"Kenapa, Dek?" tanyanya santai.
"Abang ngapain kemari?"
"Kok tanya ngapain, ya jemput Adeklah."
"Abang lihat sekarang jam berapa?" tanyaku sedikit terengah-engah, tak peduli tempat kami berbincang sekarang dimana, yang jelas aku tengah esmosi!
Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. "Jam tiga!"
Ck!
"Jam tiga itu udah satu jam lebih dari waktunya pulang, Bang," sahutku lagi masih dengan nada naik beberapa oktaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Bidadari Sattar
Romance"Jika ranjang pengantin adalah simbol penyatuan dua kekasih halal, ada apa dengan ranjang pengantin kami? Tiap hari, tiap minggu, bahkan tiap tahun selalu dimubazirkan pemiliknya?" Hurun Aini