***Diam-diam ikhlas, bukan diam-diam sesak.
Diam-diam berkorban, bukan diam-diam terluka.
Begitulah caraku mencintainya.
Tapi itu dulu, kini aku harus membuka kedua tangan dan mempersiapkan diri untuk menjadi janda. Ya, janda tak tersentuh.
'Hurun Aini.'***
Rasanya aku ingin berlari sejauh-jauhnya. Kok bisa sih, Bang Sattar membuka belanjaanku? Mana tadi itu aku belanja khusus dalaman lagi. Huh, bisa-bisanya Bang Sattar memegang baju yang, oh ... pasti dia berpikir yang nggak-nggak.
Hiks ... Hiks ...
Kurebut bajuku dari tangannya. Ia gelagapan.
"Maaf, Abang salah buka plastik. Tadi Abang cuma mau lihat baju yang kamu beli untuk Fikri."
Benarkah katanya?
Tapi aku terlanjur kesal juga malu. Nggak tahu harus kubawa kemana wajah ini. Jika baju ini itu sudah ada di tangan Bang Sattar, apalagi yang seperti ... itu. Pasti dia sudah melihat benda terlarang milikku!
Hiks ... Hiks ... Padahal itu hanya untuk koleksi, mana mungkin aku tega memakai yang begitu modelnya.
Kugagalkan niat memasuki mobil. Dengan cekatan aku mengambil plastik pakaian lalu menutup pintu mobil. Alhamdulillah, ada becak kosong berdiri di depanku. Segera saja kunaiki kendaraan roda tiga itu. Untuk sementara waktu, aku nggak mau ketemu dengannya!
Kulirik ke belakang, ya Robbi ... Bang Sattar mengekori becakku dengan mobilnya.
Huhuhu ... Aku malu! Malu!
Sampai di rumah, aku menerobos pagar lalu berlari ke dalam. Untung nggak ada Fikri, jadi bisa langsung meluncur ke dalam kamar.
Kurebahkan tubuh di atas ranjang. Bayangan wajah Bang Sattar saat kedapatan memegang lingerieku terus menari di dalam otak.
Tiba-tiba ...Tok ...! Tok ...!
'Hah, itu pasti Bang Sattar!'
Selimut, aku harus menenggelamkan wajah dalam selimut.
Pintu perlahan terbuka. Aku membuka mata di dalam selimut. Dapat kulihat ia berjalan ke ranjang, lalu duduk di pinggir.
"Maaf, ya. Sungguh Abang nggak ada maksud lihat baju kamu itu," ucapnya lemah.
Hiks ... Hiks ...
Jangan Bang, jangan katakan lagi ....'
"Keluarlah, ngapain ngumpet dalam selimut," ucapnya lagi. Kali ini bukan jantung saja yang rancak berdetak, napasku pun ikut-ikutan tersangkut.
Bang Sattar bangkit dan berjalan ke sebelah kanan ranjang, tempatku tertidur. Tangannya mengarah ke selimutku. Hanya hitungan detik.
Huah, wajahku kini bisa dilihatnya.
"Kenapa, kamu malu Abang lihat baju itu?"
Kubuang pandangan ke arah lain.
"Bagus kok. Emang kalau tidur kamu pakai baju begitu, ya?"
Hah ... harus kujawab apa ini. Kini jemariku malah saling meremas. Kubangkitkan tubuh hingga bisa terduduk.
"Abang jangan salah paham, itu koleksi," jawabku ragu.
"Ehm!" Dia berdehem sedikit tertawa. Kulirik dengan cepat, ini adalah pertama kalinya dia tersenyum saat bersamaku.
"Mandi sana, jangan asik mikirin pakaian dalam," ucapnya sambil mengelus kepalaku.
Masya Allah, Bang Sattar kah itu?
Dia bangkit dan keluar dari kamar. Saat pintu kamar sudah tertutup rapat, aku berlompatan di atas ranjang. Bang Sattar! Allah! Kupejam mata erat-erat, rasanya ingin aku mengabadikan moment tadi. Dia mengelus kepalaku. Kata-katanya ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Bidadari Sattar
Romance"Jika ranjang pengantin adalah simbol penyatuan dua kekasih halal, ada apa dengan ranjang pengantin kami? Tiap hari, tiap minggu, bahkan tiap tahun selalu dimubazirkan pemiliknya?" Hurun Aini