Pov Aini***
"Makasih, ya."
Mataku yang masih memerhatikan Fikri masuk ke pekarangan sekolahnya seketika beralih. Tak percaya, benarkah Bang Sattar mengucapkan terima kasih padaku?
"Makasih buat apa, Bang?"
"Kue ulang tahun dan menu spesial di atas meja makan."
"Allahu Rabbi, sebenarnya apa yang Engkau mimpikan pada lelaki ini tadi malam ya, Rabb. Udah diijinkan semobil dengannya, sekarang malah diberi ucapan terima kasih. Hahaha ... benarkah ia mulai luluh?" jerit batinku kuat-kuat.
"Abang suka?" tanyaku sambil kini memerhatikan gerak tangannya.
Dia terdiam, tak menoleh, tak juga menjawab. Tangannya justru sibuk menghidupkan music pada head unit. Pasti yang barusan itu, dia salah berucap.
Huh!
Aku persembahkan hidupku untukmu
Telah ku relakan hatiku padamu.
Namun kau-Seketika Bang Sattar gelagapan mengganti channel. Kurasa dia risih mendengar lagu yang mencerminkan dirinya. Lagu berikutnya.
Ciumlah, bibirku ini,
Karena esok aku tak disini,
Kulihat dari-Tut!
Belum habis lagu istimewa itu diputar, Bang Sattar sudah keduluan mematikan mesin pemutarnya.
'Huh, dasar lelaki, takut banget terpancing!'
Kesal, aku hanya bisa menjerit dalam hati melihat tingkah Bang Sattar.
Kulemparkan pandangan keluar jendela, tiba-tiba mobil berhenti mendadak. Aku yang tak pakai sabuk pengaman terhunyung ke depan. Parahnya lagi, kepalaku kejedot kaca depan mobil.
"Awww ...," teriakanku memecah ketegangan.
Bang Sattar tersentak, ia segera membantuku duduk ke posisi semula.
"Kamu nggak papa?" tanyanya sambil memegang dahiku yang baru saja kehantam kaca mobil.
"Nggak, Bang," ucapku berpura-pura.
Kuelus kepala hingga tangan kami tak sengaja bersentuhan. Mataku langsung terlempar pada matanya. Sejenak kedua bola mata kami saling bertemu. Bang Sattar buru-buru mengalihkan pandangannya.
"Lain kali pakai sabuk pengaman," ucapnya sambil kembali menyetir.
Aku yang baru pertama kali mendapat tatapan intens darinya, berusaha mengatur degup di dada. Sejenak kembali memandangnya, lalu ikut mengalihkan pandangan ke jendela. Kuelus kepala sambil merasa-rasa apa yang baru saja terjadi. Tapi sesuatu membuat jantungku seakan ingin berhenti berdetak, dari kaca ini, aku melihatnya. Dia kembali menatapku.
Ah, bahagianya ...
***
Aku menggerakkan langkah menuju aula. Sesuai instruksi, hari ini diadakan rapat sehubungan dengan kunjungan tim akreditasi, sekaligus penerimaan dokter spesialis kandungan baru lulusan terbaik Universitas Indonesia. Sebenarnya aku sangat merasa bersyukur, dengan bertambahnya satu orang spesialis OBGIN, otomatis kerjaan Bang Sattar akan sangat terbantu. Hal itu pasti akan berdampak pada jam kerjanya. Mudah-mudahan dengan begini, dia bisa punya waktu lebih untukku.
'Ah, untuk Fikri pastinya.'
Setelah memilih tempat duduk, kualihkan pandangan menatap deretan dokter yang duduk di bangku depan. Di sana ada suamiku, Bang Sattar. Dia duduk tepat di sanping direktur utama rumah sakit. Kupandangi wajahnya dari kejauhan, ia selalu menyihir mataku jika tengah serius begitu. Andai aku bisa mengelus sekali saja, rambut tebalnya yang memesona itu. Ah!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Bidadari Sattar
Romance"Jika ranjang pengantin adalah simbol penyatuan dua kekasih halal, ada apa dengan ranjang pengantin kami? Tiap hari, tiap minggu, bahkan tiap tahun selalu dimubazirkan pemiliknya?" Hurun Aini