Bab 24. Gadis Bernama Nurul Aina

4.3K 275 16
                                    


Pov Jibran

***

Sekarang aku bagaikan gumpalan debu.
Seolah hanya dirinya yang mampu merangkai kembali ragaku.
Aku menjadi begitu rapuh
Tanpanya, hatiku tak lagi utuh.

***

"Sadaqallahul 'Adzim ...."

Kututup mushaf di tangan, lalu mencium tangan mama dengan takzim. Wanita itu baru saja sampai di Aceh siang tadi. Bersyukur malam jumat kedua keberadaanku di kota ini, aku bisa kembali bertadarus bersama wanita yang hingga detik ini, masih menjadi yang nomar satu di hati.

"Bran."

Mama memanggilku lirih, aku yang hendak keluar dari mushalla berhenti sejenak.

"Tiap malam jumat walau nggak ada Mama, masih rutin baca Al-Kahfi 'kan?" tanyanya sambil memerbaiki duduk.

"Masih Ma."

"Alhamdulillah. Masih ingatkan Bran, khasiat membaca surat Al Kahfi? Barang siapa membiasakan membaca surat Al Kahfi, kelak pada hari kiamat akan memancar cahaya dari bawah kaki. Dan yang paling utama adalah, diampuninya dosa-dosa yang terdapat diantara dua Jumat."

Aku mengangguk.

"Jibran ingat, Ma. Makanya Jibran nggak pernah absen di setiap Jumat membaca surat Kahfi."

"Alhamdulillah, Mama senang dengarnya. Bran ...."

"Ya, Mama."

Mama menarik napas sejenak.

"Mama selalu berdoa, agar Allah teguhkan imanmu, teguhkan ibadahmu, senantiasa memudahkan segala urusanmu, dari dulu kamu masih di pesantren sampai sekarang kamu udah jadi dokter spesialis, Mama nggak pernah berhenti meminta itu sama Allah, Nak."

Mama berkata sambil menepuk-nepuk tanganku. Kuhadiahkan selarik senyum buatnya.

"Tapi, akhir-akhir ini, Mama nambahin satu doa lo Bran, buat kamu."

Aku mendelik, kini merebahkan kepala pada kedua paha mama yang terlipat.

"Mam pengen segera dapat menantu."

Aku terbatuk, pura-pura.

"Kapan, Bran?"

Aku tertawa. Mama kini mengelus rambutku.

"Mama serius, Ayatullah Jibran Siddiq."

"Iya, pokoknya kalau udah ada calonnya, Jibran kenalin sama Mama."

"Alhamdulillah, Mama tunggu lho. Oya, Bran, kapan donk Mama diketemuin sama Aini?"

Jika tadi aku masih bisa tertawa, sekarang aku malah tercekat!

"Buat apa, Ma? Aini itu udah nikah, Ma!"

"Lho, Mama kan cuma mau ketemu. Nggak ada niat buat minta dia cerai apalagi balikan sama kamu."

Fik, aku kembali ketawa.

"Bukan gitu juga maksud Jibran, Ma."

Kini mama ikutan tertawa.

"Pasti kamu belum move on, ya 'kan?"

Aku mendengkus panjang.

"Mau Mama ajarkan cara move on paling cepat di dunia?"

Kedua sudut bibir ini kembali menjauh.

"Gimana, Ma?"

"Ikut Mama besok ya?"

Aku menggeleng. Kalau urusan pergi-pergi, aku nggak bisa.

"Jibran nggak bisa, Ma. Besok full jadwal SC!"

Bukan Bidadari SattarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang