Bab 20. Belum Bisa Move On

4.3K 314 23
                                    


Pov Jibran

"Aku memang pernah ingin berhenti mengiriminya surat. Tapi sangat sulit, membalas dan mengiriminya surat, seperti candu bagiku. Mungkinkah ini yang membuat-Mu menentang hubungan kami ya Allah?"

***

[Assalamualaikum, Ma.]

[Waalaikum Salam, Sayang. Telpon Mama kok lama sekali baru diangkat?]

[Tadi Jibran di kamar mandi, Ma. Mama apa kabar, sehat?]

[Alhamdulillah sehat. Kamu ya, kalau nggak Mama yang nelpon duluan, pasti deh lupa ....]

[Maaf Ma, beberapa hari ini sibuk banget.]

[Oh, kirain, Mama mau dilupain.]

[Ya nggak lah Ma.]

[Bran ....]

[Ya Ma?]

[Minggu depan, Mama mau ke Aceh.]

[Hah, ke Aceh? Ngapain Ma]

[Ya mau nengokin kamu lah. Mama kangen.]

[Mama ngapain capek-capek ke Aceh? Nanti biar Jibran aja yang pulang, kalau ada waktu luang, ya Ma.]

[Ya, tapi kapan, Bran? Masak nunggu lebaran?]

Aku bergeming sejenak, sambil menghela napas. Nggak biasanya Mama berkeinginan begini, padahal sebelum ke Aceh, beberapa kali aku juga pernah ninggalin beliau. Cuma bedanya, kali ini beliau benar-benar sendiri. Tanpa papa.

[Sebenarnya ada apa sih, Ma? Benar cuma karena kangen?]

Mama terdiam sejenak. Terdengar suara isakan di ujung telpon.

[Mama kenapa nangis?]

Wanita itu menarik napas panjang.

[Mama ingat Papamu, Nak ....]

'Astaghfirullah.'

Kutegakkan posisi duduk. Kasihan sekali Mama sendirian di sana. Harusnya ia ikut denganku tinggal di Aceh.

[Jibran pesan tiket buat besok ya, Ma?]

Tidak ada jawaban. Hanya isakan.

[Ma ....]

[Iya, Sayang. Mama tunggu ya?]

Mama menutup telpon tanpa mengucap salam. Hufht ... Rasanya paling nggak enak begini. Jika ada jet pribadi, aku sudah meluncur ke Jakarta malam ini juga. Tapi, apa boleh buat. Nyampe rumah aja baru lima belas menit.

Netraku kini melirik jarum merah pada jam di dinding, sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

Aku tak mungkin menelpon mama balik, biarlah mama menumpahkan tangis rindunya pada papa sejenak. Jika melihat mama sama papa, aku cemburu.

'Andai aku dan Aini juga bisa bersama? Suatu saat nanti, pasti dia akan menangis begini juga saat aku meninggalkannya ....'

Sayang, hanya hayalan!

Kucoba merebahkan tubuh di atas ranjang. Mataku nanar menatap langit-langit kamar. Selintas, bayangan seorang wanita bercadar tergambar di sana, mengelilingi bohlam lampu yang nampak remang-remang.

Matanya ... bersinar indah. Senyumnya, aku bisa merekam meski tertutup kain.

Kupejamkan mata membayangkannya lebih nyata. Astaghfirullah! Mataku kembali terbuka. Aku harus bisa mengusir bayang wajahnya. Susah payah kupejamkan kembali netra ini, sambil mulut terus melantunkan zikir.

Subhanallah ... Subhanallah ... Subhanallah ...

Hilang, kini semua mulai remang, lalu ... gelap!

Bukan Bidadari SattarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang