Nora adalah sahabat yang Nusa sayangi. Keadaan saja yang membuat Nusa malah menaruh benci pada Nora yang dia sayangi.
"Kamu harus nikahin Nora, Sa. Papa kamu nggak akan suka kalau kamu biarin keturunan Roedjati nggak terurus." Daniyara mengambil berkas dari pangkuan putranya.
"Berapa kali Nusa harus bilang, Ma. Tanggung jawab nggak harus dalam bentuk pernikahan." Nusa masih saja mengelak untuk menikahi Nora. Meski sudah jelas kalau Nora hamil anaknya, Nusa tetap enggan membentuk ikatan sebagai pasangan suami istri dengan Nora—sahabatnya.
Bagi Nusa, tidak ada jenis perasaan seperti itu terhadap Nora. Dia jelas menaruh rasa sayang sebatas sahabat.
Daniyara kembali mengelus dada, dia lelah sebenarnya membujuk putra keduanya untuk menikahi Nora yang sudah ketahuan hamil anak Nusa.
"Kamu pikir Djati akan diam saja melihat tingkah adiknya yang begini?" Daniyara mendorong ponselnya pada Nusa. "Djati bilang apa yang akan kamu lakukan seandainya Swara kedapatan hamil sama sahabat laki-lakinya?"
Danusa melirik pesan antara ibunya dan kakaknya, memang benar kalau dia berandai adik perempuan mereka hamil tanpa pertanggungjawaban akan berbeda penuntasannya.Jelas harus ada pernikahan agar tak ada orang yang mencibir keluarga mereka. Namun, Swara berbeda dari Nora. Swara adalah adik tersayang ketiga kakak lelakinya. Sedangkan Nora... dia jelas bukan siapapun untuk mendapatkan kesempatan sebagai pasangan Nusa. Lagi pula, Nora adalah sahabatnya. Sampai kapanpun... akan terus menjadi sahabatnya.
"Mama nggak bisa samain Nora dan Swara dengan cara kayak gini!" ucap Nusa penuh dengan penolakan.
Menutup bibir sang putra kedua, Daniyara mengambil langkah cepat agar ucapan itu tak terdengar oleh siapapun yang melintas di taman belakang. Sekalipun para pelayan yang sudah dijamin tidak akan menyebarkan informasi apapun ke dinding tak kasat mata diluaran sana.
"Danusa... jangan begini. Mama nggak mau kamu menyakiti hati siapapun."
Dan memang betul, Nora mendengar apa yang keduanya bicarakan. Rolling door yang bisa halus sekali bunyinya ketika dibuka membuat pendengaran Elnora menajam begitu sang sahabat menolak keras untuk menikahinya.
"Cara apa yang benar untuk mempertanggungjawabkan kehidupan baru yang sudah kalian buat? Mama nggak tahu cara apalagi yang bisa membuat anak kalian tetap hidup sebagai keluarga Roedjati."
Danusa memiliki pemikiran gila yang akan membuat siapapun menghentikan laju napas Nora seketika itu juga.
"Kita bisa mengurus Nora di rumah ini, Ma. Anaknya juga bisa mendapat gelar nama Roedjati." Nusa berkata dengan semangat.
"Apa itu?"
"Setelah anaknya lahir, biarkan Djati dan istrinya yang mengurusnya. Anak itu akan dikenal sebagai anak kandung Djati, Ma. Dengan begitu, nama yang akan dia sandang adalah nama keluarga kita."
Nora menahan napasnya seketika saja. Nusa memang cerdas. Usaha yang dia bangun bahkan melebihi apa yang saudaranya kembangkan, dia memiliki kekayaan yang tidak bisa Nora hitung semenjak mereka bersama sebagai sahabat selamanya. Namun, Nusa juga bisa melantur dengan kecerdasannya itu. Menyakiti hati yang tidak bisa dia jaga. Kalau saja ada tempat dimana Nora bisa diterima, maka dia sama sekali tak membutuhkan pertanggungjawaban keluarga super kaya seperti Roedjati. Anaknya juga tidak akan pernah mendapatkan gelar tersebut, dan mereka berdua bisa hidup dengan sangat layak tanpa menjadi penghalang siapapun. Tanpa menumpang dengan nama keluarga kaya manapun.
Kenapa kamu harus datang disaat seperti ini, sih, Nak? Kenapa?
Dan ketika Nora membuka mata... dia tak ingat, kenangan siapa yang dia bayangkan tadi. Dia tidak tahu mengapa kilasan itu terasa sangat nyata, disaat dirinya dinyatakan mengalami kecelakaan dan koma selama tiga bulan lamanya. Begitu terbangun, dia melihat Danusa yang tertidur sembari menggenggam tangannya erat, seakan takut kehilangan.
"Akhirnya kamu sadar." Wajah berbinar Nusa membuat perempuan itu kebingungan.
"Aku pasti udah nyusahin kamu dan keluargamu banget, ya, Sa. Maaf, ya."
Danusa menangis. Begitu permintaan maaf yang Nora sampaikan menyentuh gendang telinga menembus hatinya yang tidak terhingga betapa sakitnya ia sekarang.
"It's okay, Sa. Aku udah terlalu banyak menyusahkan kamu dan keluargamu, jangan nangis, Sa. Aku ikut sedih kamu seperti ini."
Tak kuat menahan rasa sedihnya sendiri, Nusa menumpukkan kepalanya pada bahu Nora. Di sana, dia sesali habis-habisan kesalahannya dengan tangis tergugunya. Dia takut, sangat takut, jika Nora tak akan memaafkannya ketika bangun nanti. Namun, kata pertama yang perempuan itu ucapkan adalah maaf yang tentu saja mampu meluluhlantahkan emosi Nusa yang sudah tercampur aduk selama tiga bulan melihat Nora tak sadarkan diri.
"Aku yang minta maaf, Ra. Maaf. Maafin aku, Ra."
Nora mendorong kepala Nusa agar melihatnya dengan jelas. "Kenapa kamu minta maaf, Sa? Kamu nggak salah apapun sama aku, justru kamu yang membantu aku dari kejadian sialan itu, Sa. Terima kasih, Sa."
"Kejadian apa, Ra?" tanya Nusa kebingungan.
Keduanya mengernyit. "Kejadian... saat papaku hampir memerkosa aku, Sa. Aku mungkin nggak hati-hati saat kamu sibuk ngurus papaku waktu itu, makanya aku sekarang di sini. Iya, kan, Sa?"
Kejadian itu? Nusa ingat, tapi sayangnya itu ingatan lima tahun silam. Dimana mereka masih memulai persahabatan tanpa rasa dan ikatan apapun.

KAMU SEDANG MEMBACA
Voyage#2
General FictionThey voyage to distant lands that we called;home. Roedjati Klan#2 Danusa Roedjati