Elnora tidak bisa mengalihkan tatapannya dari kegiatan yang Danusa lakukan. Pria itu mengayuhkan tangan ke depan seakan mengais air secara bergantian hingga membuat Nora tidak fokus mengurus tubuhnya sendiri yang butuh perhatian khusus pasca kecelakaan yang diingatnya. Mengamati tubuh Danusa yang sangat bagus dan terbentuk membuat Nora merasa tidak pantas berada didekat pria itu atau bahkan bersanding dan menerima perasaan Nusa. Entah kenapa bentuk fisiknya menjadi sangat berbeda dari yang Nora ingat. Guratan pada kulit Nora bertambah dan perutnya tidak sekencang terakhir dirinya ingat. Lebih parahnya lagi, ada bekas satu garis jahitan di bagian perut bawahnya.
Pertanyaan demi pertanyaan menghinggap di kepala Nora. Bagaimana bisa kecelakaan semacam itu membuat fisiknya tampak seperti wanita setelah melahirkan?
Saat Nora sibuk menunduk dan mengelus bagian perutnya, bayangan matahari tertutup hingga ia mendongak dan mendapati Danusa menatapnya dengan sisa air yang terbawa dan menetes dari tubuh pria itu.
"Kenapa? Ada yang sakit?" tanya Danusa tanpa menutupi raut cemasnya.
Pipi Nora panas seketika, pertanyaan pria itu memang jauh dari ajakan berkencan atau menjurus pada hal intim, tapi Elnora benar-benar salah tingkah dan tersipu dibuat oleh sang sahabat.
"Nggak ada apa-apa. Nggak ada yang sakit, kok."
Untuk menutupi reaksinya yang terlalu berlebihan, Nora menunduk dan mengalihkan tatapan ke mana saja asal bukan pria itu. Asal tidak mengamati bentuk tubuh Danusa yang begitu dekat dengannya saat ini.
"Yakin?" tanya Danusa kembali.
Pria itu tak meyakini jawaban Nora sedikitpun. Itu karena Nusa diam-diam selalu mengamati apa yang Nora lakukan. Saat melihat Nora sibuk mengusap perut dan melamun, Nusa merasa ulu hatinya seperti diremas karena takut jika Nora sadar dengan garis di bagian perut bawahnya adalah pertanda bahwa ada nyawa yang pernah diambil paksa dari sana karena tak sanggup bertahan atas kebodohan orangtuanya, lebih tepatnya ayahnya, Danusa.
Nora terkejut ketika merasakan dingin tangan Nusa menangkup wajah perempuan itu hingga kini mereka bertatapan.
"Pipi kamu memerah. Aku nggak yakin kamu baik-baik aja." Danusa sedikit memberi usapan di pipi yang pria itu maksud. "Katakan apa pun yang kamu butuhkan, Nora. Katakan jika memang ada keluhan yang kamu rasa. Aku akan segera menghubungi dokter untuk memeriksa keadaan kamu."
Nora tersenyum lebar. Perhatian yang diberikan Nusa entah kenapa berbeda dari ingatan terakhir yang perempuan itu ingat.
"Kamu panik banget, Sa. Padahal aku emang nggak apa-apa. Mungkin aku cuma kepanasan, makanya kulit pipi aku jadi merah." Bohong! Aku nggak kuat lihat badan kamu yang bikin aku panas dingin, Sa!
"Kamu nggak pake sunscreen tadi?"
Nora menggeleng pelan. "Nggak ada sunscreen atau apa pun di tas aku. Make up, skincare, body care, sampe hair care aku nggak ada."
Danusa meringis, dia hanya tahu sunscreen sebagai make up sekaligus skincare juga body care. Dia payah sekali tidak bisa membedakan semua itu hingga tidak antisipasi untuk membelikan Nora semua kebutuhan wanita tersebut selama mereka menghabiskan waktu berlibur—yang entah sampai kapan akan selesai, karena Danusa ingin membangun perasaan Nora utuh kembali padanya lebih dulu sebelum banyak pertentangan menghambatnya.
"Maafin aku, ya. Harusnya kita beli saat perjalanan ke sini. Aku nggak tahu ternyata banyak hal yang kamu butuhkan."
Tidak ada kalimat lain selain meminta maaf karena Danusa memang harus selalu melakukannya untuk semua yang sudah dirinya buat. Termasuk membuat ingatan Nora menghilang dan bayi mereka tiada.
Gelengan yang Nora berikan membuat Danusa mengernyit. "Jangan dulu, aku nggak mau hutang sama kamu. Aku belum kerja lagi, jadi aku harus tahan diri buat nggak beli semua perintilan khas cewek itu. Aku harus kerja—"
"Aku nggak izinkan kamu kerja."
Kalimat Danusa yang memotong ucapan Nora itu seketika membuat suasana hening.
"Kenapa?"
"Ingat kondisi kamu, Ra. Aku nggak mau sesuatu terjadi. Lagi pula kamu udah lama nggak kerja semenjak mengan ...." Goblok! Lo mau ketahuan, Danus!?
"Aku nggak kerja sejak apa?"
Menenangkan diri, Nusa berakhir untuk jongkok dan tidak lagi membuat Nora mendongak.
"Semenjak kamu mengalami kecelakaan, kamu nggak kerja dan hidup di bawah tanggung jawab keluargaku. Sekarang, nggak masalah kalo aku harus tanggung jawab semua kebutuhan kamu untuk hal-hal kecil semacam itu."
"Sa, bukan kamu yang salah. Ayahku—"
"Jangan menolak, please! Aku nggak mau kamu kerja dengan kondisi yang masih mengkhawatirkan. Fokus dulu untuk kesembuhan kamu, pikirkan juga mental kamu sebelum memikirkan ingin terjun ke dunia kerja atau semacamnya. Aku siap menanggung semua kebutuhan kamu dari hal kecil sampai besar."
Elnora menatap pria yang dalam ingatan terakhirnya sudah menyelamatkannya itu. Kebaikan Nusa tidak tergambarkan lagi dan seluruh perhatian pria itu harus diacungi jempol. Namun, entah kenapa Nora merasa aneh di lubuk hati terdalam, kenapa aku nggak sepenuhnya nyaman? Apakah Nora yang memang aneh pasca kecelakaan? Atau memang ada kejadian khusus hingga membuat Nora sepertinya enggan menerima bantuan dan perhatian yang Danusa berikan?
[Haaaiiiiii! Ya ampun, coba nulis lapak ini lagi ternyata bisa, loh,🤣🤣🤣
Kalo misalnya aku update cepet tapi di akun Karyakarsa pada mau gak, sih? Soalnya kalo dapet reward dari pembaca, kan, beda semangatnya, bunds🤭 tapi kalo keberatan gpp, aku usahakan update di sini meski lama. Happy reading.]

KAMU SEDANG MEMBACA
Voyage#2
Ficción GeneralThey voyage to distant lands that we called;home. Roedjati Klan#2 Danusa Roedjati