SMA Airlangga
15 menit setelah bel pulang sekolah terdengar, Wendy dan Sesa tengah sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tasnya masing-masing. Ruang kelas tampak lengang karena hanya ada mereka berdua dan juga Bella. Menyisakan suara resleting tas yang ditutup secara bersusulan.
"Gue kaget banget tahu, waktu nilai ulangan yang tadi dibagi in sama Bu Nita,” ujar Sesa yang kini telah memasang tas di punggungnya. Perempuan itu bangkit dari duduknya, lalu berjongkok di hadapan Bella yang masih duduk.
"Kenapa?” tanya Bella yang masih memberesi buku-buku yang masih berantakan di atas mejanya.
Wendy yang berada di sebelahnya hanya diam menyimak karena dia juga penasaran, sama halnya dengan Sesa.
"Lo kok bisa dapet nilai tertinggi, Dell? Sejak kapan lo les?"
"Aku nggak les,” balas Bella membantah ucapan Sesa.
Meskipun rasa penasarannya belum juga hilang, tetapi Sesa tak menuntut jawaban lebih dari Bella. Mereka kini tengah berjalan bersama menyusuri koridor sekolah yang tampak sepi. Hanya terlihat beberapa guru dan juga penjaga sekolah."Lo mau ke mana, Dell? Nggak pulang?” tanya Wendy yang melihat Bella berbelok ke arah koridor lain. Padahal untuk menuju halaman sekolah, mereka harus lurus.
"Kalian duluan aja. Aku mau latihan basket dulu,” teriak Bella yang telah sampai di ujung koridor sebelah kanan, di mana lapangan indoor berada.
Wendy dan Sesa hanya mengangguk karena mereka berdua tahu, kalau sahabatnya itu sangat menyukai basket.Sebelum masuk ke lapangan indoor, dia memutuskan untuk mengambil kaos olahraga milik Della yang tersimpan di loker. Dibukanya sebuah loker berwarna silver dengan stiker tengkorak menempel di sana. Dengan segera ia mengganti seragam putih abu-abunya dengan kaos olahraga berwarna biru.
Rambutnya yang diikat tinggi membuat leher jenjangnya terlihat jelas. Beberapa anak rambut jatuh dengan bebasnya. Setelah memasukkan seragam putih abu-abunya ke loker, Bella melangkah menuju lapangan basket indoor. Suara langkahnya menggema ke seluruh isi ruangan.
Bella menghembuskan napas, lalu diambilnya sebuah bola basket yang tergeletak di lantai. “Aku harus bisa main basket. Aku nggak mau dipanggil pecundang terus sama cowok itu,” ucap Bella penuh tekad.
Setelah meyakinkan diri sendiri, Bella mulai men-dribble bola. Kemudian mencoba memasukkannya ke dalam ring yang ada di depan. Gagal. Bolanya memantul di papan ring. Ia mencoba men-dribble-nya lagi, namun kali ini sambil berjalan. Mencoba menembakkan ke ring. Gagal lagi. Kali ini bolanya melayang di atas ring, melewati papan.
Bella berdecak sebal. Sudah berulang kali dirinya mencoba, tetapi tak satu pun bolanya berhasil masuk. Sudah setengah jam dia berlatih seorang diri. Ia menyeka peluh yang ada di pelipisnya.
Dia tak sadar jika ada sepasang mata elang menatapnya dari awal. Dengan bersandarkan pintu, laki-laki itu memperhatikannya dengan ekspresi datar. Setiap Bella gagal memasukkan bola, dia hanya menggelengkan kepalanya.
Ikat rambut yang mengikat rambut panjangnya terlepas karena beberapa kali melompat. Membuat rambut hitamnya tergerai indah. Bahkan anak rambutnya sampai ada yang menempel di pipi akibat terkena keringat.
"Kalau nggak bisa, jangan sok nantang!” suara seseorang yang sering membuatnya sebal terdengar dari belakang tempatnya berdiri sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika-liku Rasa🌿✔
Teen FictionBerawal dari ide gila saudara kembarnya untuk bertukar tempat selama satu hari, Bella tak menyangka akan dihadapkan oleh pertandinga basket melawan Bian Brahmandyo, kapten basket di SMA Airlangga. Tentu saja Bella harus menerima kekalahan karena tak...