Chapter 6

3.9K 745 175
                                    

Jae berharap begitu dia membuka mata, besoknya keadaan akan berubah normal lagi. Jae ada di tahun 2020. Dimana dia masih berumur 20 tahun dan nggak terikat oleh siapapun.

Tapi harapan cuma tinggal harapan.

Begitu membuka mata, Jae masih berada di kamar dengan nuansa putih, masih dibangunkan oleh Wendy yang jadi bukti kalau keadaan masih sama.

Jae masih terjebak di tahun 2030.

"Ayah udah selesai sarapannya atau mau nambah lagi?"

Jae menggeleng dan Wendy langsung bawa piring bekas Jae dan Jisung ke wastafel. Jae diam sambil matanya mengikuti kemanapun gerak tubuh Wendy pergi.

Istrinya –kalau boleh Jae bilang seperti itu, jadi lebih pendiam ketimbang kemarin. Nggak tau hanya perasaan Jae doang atau memang Wendy lagi marah?

Marah sama Jae.

Sejujurnya, bisa dibilang Wendy itu istri idaman para lelaki. Wendy sempurna, sempurna sebagai istri maupun sebagai ibu.

Perempuan itu luar biasa sabar dan paham gimana ngelayanin suami. Bisa dibilang semua kebutuhan Jae maupun Jisung udah di handle sama Wendy semua.

Dari mulai pakaian yang dipakai, apa aja yang harus dibawa, makanan apa yang harus dimakan. Wendy selalu memastikan apa yang Jae dan Jisung makan bergizi.

Ya mengingat Jae punya alergi yang nggak keitung dan Jae gampang sakit, dan Wendy bener-bener bisa mencegah itu semua. Itupun berlaku sama Jisung yang ternyata menuruni semua yang Jae punya.

Pokoknya semuanya yang ngurusin Wendy. Kerjaan Jae itu cuma tinggal pakai dan makan apa yang udah disiapin Wendy sambil duduk manis di rumah.

Tapi yang namanya perasaan nggak bisa dipaksain, Jae sama sekali nggak ada perasaan secuil pun sama Wendy. Makanya Jae sendiri heran kenapa dia bisa menikah sama Wendy dan bisa sebucin itu sama istrinya.

"Sayang sini, sepatunya dipake. Kita berangkat sekarang ya?"

Jisung nurut dan nyamperin Wendy yang udah siap masangin sepatu Jisung. Itu juga yang bikin Jae berdiri dan siap-siap. Karena itu tandanya, Jae juga harus ke studio dan nganterin mereka berdua.

"Kenapa Bunda nggak ikutan naik?"

Ini Jae udah siap duduk di balik kemudi mobil, Jisung pun udah duduk disampingnya. Tapi Wendy masih belum masuk malah berdiri di luar. Yang mana mengundang tanda tanya Jae maupun Jisung sendiri.

"Bunda nanti berangkat sendiri aja, Yah. Ayah langsung anterin Jisung aja sekalian ke studio," kata Wendy tenang.

Si Jisung udah ngerengek aja denger gitu. Ya mau gimana tuh anak kan memang manjanya nggak ketulungan sama Wendy. Perkara kecil kaya gini aja bikin dia protes.

"Nggak mau! Bunda pokoknya harus dianterin sama Ayah. Nanti Bunda berangkatnya sama siapa? Kan kunci mobil satunya belum ketemu," protes Jisung. Sekarang malah anak itu gelendotan ke Wendy dan nggak mau lepas.

"Nanti Bunda pesen ojek online aja, sayang. Kan kasian Ayah jadi bolak-balik kalau nganterin Bunda. Nggak papa ya?" bujuk Wendy sambil ngelus rambut Jisung. Keibuan banget memang.

Dan lagi. Perasaan nggak nyaman itu muncul. Rasanya Jae nggak tenang dan kesal sendiri denger alasan Wendy. Padahal kemarin Jae sendiri yang protes karena harus bolak-balik nganterin mereka.

"Tapi kan biasanya juga Ayah nggak papa kok nganterin Bunda."

Wendy jadi bingung mau jawab apa.

Memang sih Jae biasanya yang nganterin Wendy, tapi Jae sekarang bukan Jae yang seperti biasanya.

Wendy nggak mau kalau Jae terpaksa buat nganterin dia dan Wendy juga masih bisa berangkat sendiri. Yang penting Jae masih mau nganterin Jisung aja udah cukup buat Wendy.

10 Years Later ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang