Nomor 15 Drama Palsu

389 385 26
                                        

Taksi menepi di depan pagar menjulang milik keluarga Lanita. Lanita membuka pintu dan menggeser bokongnya agar bisa keluar. Tangan Rama sigap berada di atas pintu. Setelah Lanita keluar, barulah Rama.

"Makasih, Kak."

"Lo beneran nggak akan diusir, kan?" Rama memandang rumah Lanita yang seluruh lampunya menyala, pertanda kedua kakak Lanita yang super jahat itu ada di rumah.

"Ya kalo diusir, tidur diluar," jawab Lanita enteng.

"Balik ke rumah gue."

Mata Lanita terbelalak. Mengingat rumah berarti harus ingat juga bahwa ada ayahnya. Bisa rontok bulu tangan Lanita bila berhadapannya dengannya lagi. "Nggak usah. Gue pulang aja."

Napas Rama keluar dengan kesal. Tubuh Rama bersandar pada taksi, ia bersedekap memandang rumah itu. "Ya udah sana masuk."

"Lo nggak pulang?"

"Gue pastiin lo nggak diusir dulu."

"Kakak pulang duluan aja."

"Masuk!"

"Siap!" Lanita langsung patuh tak membantah. Badannya berbalik untuk berjalan masuk ke dalam. Untung saja pagar rumah tidak terkunci.

Disela mendorong pagarnya ke samping, ekor mata Lanita bisa melihat bahwa Rama menatapnya terus menerus. Lelaki itu amat membuktikan ucapannya untuk mengawasinya sampai masuk rumah.

Lanita mendorong kembali pagar ketika dia sudah di dalam area rumah. "Dadah, Kak."

Rama hanya bergumam. Sorot matanya terus mengintimidasi rumah bertingkat dua bergaya minimalis yang menjadi Lanita tinggal. Terlihat rumah itu nampak nyaman, asri, dan bertebaran kebahagiaan. Namun, siapa sangka kalau Lanita salah satu penghuninya justru tak merasakan kenyamanan dan kebahagiaan.

"Kak Rama!"

Lelaki ini menolehkan pandangannya pada Lanita yang belum mengunci pagar. Dia berlari keluar lagi, mendekati Rama, dan tersenyum lebar.

"Ada yang gue lupa."

"Apa lagi?"

Cup! "Selamat malam, kekasih." Lanita langsung berlari masuk ke dalam rumah, tanpa mau mengunci pagar terlebih dahulu. Lari Lanita begitu cepat.

Rama baru bisa berkedip ketika pintu rumah Lanita terdengar ditutup. Lelaki ini meraba pipinya.

"Shit!" Rama tak mampu menyembunyikan senyum dan pipinya yang merona.

***

Syahdan tengah belajar serius, berbagai buku sudah tertumpuk di sisi kanan meminta untuk dibuka dan dipelajari. Sedangkan di hadapannya ada serentetan kertas soal yang meminta di selesaikan. Lalu sisi kiri adalah pengganjal perut, aroma theraphy, dan musik penenang otak. Tiga hal itu memang wajib ada di sisi kanan, depan, dan kiri Syahdan. Jika tidak ada, konsentrasi Syahdan akan sedikit terganggu.

Seperti biasa, Sandi akan memukul samsak penuh napsu seolah itu adalah orang yang ingin sekali ia habisi. Walau sudah banjir keringat pun Sandi tak henti berlatih.

BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang