Nomor 36 Saksi Rahasia

42 31 0
                                        

Menginjak minggu ke 5 semenjak Rama memutuskan hubungan dengannya. Hari demi hari Lanita lalui dengan amat sepi. Tak ada yang memenuhi isi hatinya lagi, sang pengisinya pergi begitu saja tanpa jejak, menyisakan rasa hampa yang tak berkesudahan.

Tubuh Lanita meringkuk di atas kasur, selimut menutupi seluruh tubuhnya ketika matahari sudah menghantam jendelanya dengan cahaya yang menyilaukan.

"Lanita! Sekolah nggak?" Pintu kamarnya diketuk berulang kali. Karena tak ada jawaban, pintu pun dibuka dari luar. "Lanita."

Mamah yang masuk segera duduk di sisi kiri ranjang dan membuka paksa selimut. Bola matanya terbelalak melihat wajah pucat Lanita. "Lanita, kamu sakit? Kita ke rumah sakit ya?"

Respon Lanita hanya mengerjapkan mata, tubuhnya begitu lemas.

***

Pintu ruangan dokter tertutup. Mamah menuntun Lanita untuk menunggu di kursi besi yang ada di depan resepsionis, sedangkan Mamah akan menebus obat terlebih dahulu sebelum pulang.

Lanita menutupi wajahnya dengan masker  rambutnya dibiarkan tergerai guna mengalihkan pandangan orang tentang wajahnya yang pucat dan lesu.

"Pelan-pelan, Ram."

"Lo tunggu sini, biar gue bayar dulu."

"Pake kartu gue aja."

"Nggak usah, gue yang bayar."

Suara decakan keras mengakhiri obrolan dua laki-laki yang berjarak 5 meter di hadapannya. Lanita mendongak sedikit dan melihat dengan matanya yang tampak sayu dan terdapat kantung mata.

Lanita berdiri bersamaan dengan seseorang yang berjalan ke arahnya. Mereka bertemu.

Suasana rumah sakit yang ramai terlupakan. Bau antiseptik yang menyengat menghilang. Kini, hanya ada Lanita dan Rama yang berdiri dengan tatapan yang berbeda. Waktu seolah tak bekerja, membius keduanya, menjadikan pertemuan ini sebagai takdir.

Lanita hendak mendekat, tapi langkahnya tercekat karena kepalanya yang tiba-tiba pusing. Rama yang melihat keadaan Lanita tidak baik-baik saja ingin merengkuh, namun seperti ada sesuatu yang menahannya, mencegah untuk peduli pada Lanita.

"Kak Rama gimana kabarnya?" tanya Lanita sedikit tersenyum, walau Rama tak tahu seperti apa senyum yang Lanita tampilkan dibalik masker medis yang ia kenakan.

"Baik." Nada Rama terdengar data, tanpa tambahan kesan khawatir yang diam-diam tersembunyi di dadanya.

Sekali lagi, Lanita tersenyum. "Kak Rama...."

"Gue sibuk." Ini pilihan Rama, bersikap dingin.

"Oh gitu."

Rama menjawab dengan gumaman. Tak ada lagi yang harus mereka bicarakan. Jarak sudah membatasi kebebasan mereka untuk bersama. Oleh karena itu, Rama akan mengakhirinya.

Lelaki ini melangkah pergi, melewati Lanita, dan melepaskan semua perasaan sesak yang sejak tadi menggerogotinya. Sudah seharusnya seperti ini.

Lanita jatuh terduduk. Menutupi matanya dengan tangan dan membungkuk. Sakit hatinya jauh lebih parah dari demam yang mengunjunginya hari ini. Sesakit ini ternyata ditinggalkan orang yang kita cintai. 

BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang