Nomor 13 Patah Hati

476 481 41
                                        

Digo terkekeh sinis. "Kamu bahkan nggak anggap Papa kamu ini, Rama?"

Mata Lanita seketika melebar karena refleks, ia menoleh pada Rama dan Digo bergantian. Sepertinya, ia salah telah berada di rumah ini.

Rahang Rama mengeras. Lanita bingung harus melakukan apa sekarang. Otaknya mencoba berpikir keras di situasi canggung dan tegang ini.

"Selamat pagi, Om." Lanita menyapa dengan hangat.

"Kamu siapa?" Digo menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Saya te---"

Rama menggenggam tangan Lanita dengan erat. "Aku pergi."

Lanita yang ingin bersalaman atau bahkan mengucap salam jadi terurungkan karena Rama begitu cepat menyeretnya keluar. Sedangkan Digo hanya memandang mereka dari kejauhan.

***

Daisy mengetuk-ngetuk ujung sepatunya di lantai. Matanya bagaikan silet menunggu kedatangan Lanita sampai ke kelas. Ada yang melirik Daisy dengan tatapan aneh yang langsung dibalas pelototan tajam. Daisy persis penjaga neraka, tidak mau senyum.

Di pergelangan tangan menempel jam berwarna silver yang menunjukkan angka 7.15. Harusnya sebentar lagi Lanita tiba. Terhitung sejak foto-foto kebersamaan Lanita dan Rama terbongkar di parkiran.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Daisy akhirnya tersenyum lebar kala melihat Lanita melangkahkan kakinya menuju kelas.

"Lanita!" teriak Daisy lantang, ia berkacak pinggang di depan pintu yang menghadap koridor.

Lanita merasa beruntung bertemu Daisy karena ingin menceritakan peristiwa tadi malam. Pasti gadis itu akan histeris. Lanita melambaikan tangan seraya tersenyum lebar. "Daisy!"

"Lanita!" Daisy geram sekali.

"Gue mau ngomong sesuatu, nyet!" Lanita tidak sabar sekali untuk bercerita. Ia berlari mendekat dengan tampang antusiasnya.

"Buaya betina! Lo nikung gue!" Daisy yang tidak sabaran segera mengejar Lanita dengan kemoceng di tangan.

Fat. Fat. Wafat. Wafat. Wafat. Fat. Wafat. Wafat. Wafat!

Kata tersebut langsung terngiang-ngiang di otak gadis bar-bar ini.

"Lanita gue habisin lo!"

Barulah Lanita tersadar begitu Daisy murka. Sudah pasti masalahnya hanya satu. Lanita langsung memutar badan, hampir terpeleset karena kaget, ia langsung berlari kencang bak orang gila. Lanita tidak mau mati muda karena menghadapi keganasan Daisy. Rasanya kayak sedang disidak satpol PP karena ke gep jualan di pinggir jalan.

Kedua gadis ini berlari tanpa henti, yang satu memaki, yang satu melarikan diri. Tak pelak koridor sekolah jadi tempat keduanya kejar-kejaran.

Ramainya koridor kelas 11 mulai membuat Lanita makin gusar. Ia harus mencari tempat sembunyi. Daisy kalau sudah marah begitu menakutkan. Bulu kemoceng saja memilih merontokkan diri daripada harus menjadi teman Daisy.

"Woi Lanita, berhenti! Lo kenapa bisa bareng Kak Rama ke sekolah?!" teriakan Daisy yang kencang berhasil membangunkan semua fans Rama di sekolah itu.

BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang