Nomor 10 Menuju Konflik

801 838 20
                                        

Ruangan kepala sekolah tengah didatangi oleh tamu. Di dalam sana terdapat Gunawan yang duduk di sofa single dan pasangan suami istri di sofa sebelah kanan.

Gunawan meletakkan teh dan kue kecil di atas meja. "Silakan."

"Wah, maaf merepotkan." Pria berkacamata dengan pakaian khas kantoran tersenyum lebar.

"Tidak juga. Kalian kan tamu istimewa saya." Mata Gunawan membentuk sebuah garis tipis karena tersenyum.

"Kami jadi malu." Perempuan di sisi pria itu hanya tersenyum simpul.

"Jadi, bagaimana Johan selama di sekolah?" tanya pria tersebut tidak sabaran.

"Johan? Tentu saja dia berprestasi. Nilainya tinggi. Pasti keturunan dari ayahnya. Dan dia baik hati seperti ibunya." Tawa kecil Gunawan menyembur dari bibirnya yang sedikit kehitaman.

"Mohon bantuannya, ya, Pak. Kalo Johan ada salah. Bisalah diatur." Sebuah amplop putih tersodor di atas meja dan didorong ke arah Gunawan.

"Aduh, apa ini? Jangan repot-repot." Walaupun merasa malu, ia tetap mengambil amplop itu dan melihat isinya. Dari kacamata, terpantul lembaran-lembaran uang yang begitu banyak. "Johan pasti aman."

"Harus, Pak. Dia akan saya kuliahkan di universitas saya hingga S3. Dia penerus keluarga Suryabrata." Pria berumur 50 tahunan itu makin melebarkan senyumnya bila membayangkan sebagus apa masa depan kelak.

"Masa depan Johan aman di tangan saya." Gunawan memasukkan amplop berisi uang tersebut ke balik jasnya. "Mari, silakan dicicipi kuenya."

***

Syahdan yang tengah menyetir tak fokus dengan kehadiran Lanita. Sumpah demi apapun ia membenci Rama kali ini. Semenjak mendengar suara ketika ia menelepon Rama, perasaannya sudah tidak enak, seolah akan ada bencana yang datang. Ternyata benar, medusa bencananya.

"Jangan ngajak gue bicara, Ram. Kita bombean," kata Syahdan sibuk menyetir dengan bibir mengkerut.

"Bombe itu apa, Kak?" Lanita memajukan kepalanya ke depan.

"Lo juga!" teriak Syahdan.

Tora menarik pundak Lanita. "Bombe itu istilah untuk memutus pertemanan."

"Gue kan nggak berteman sama Kak Syahdan." Lanita menyandarkan kembali punggungnya pada jok mobil seraya melihat kukunya yang cantik jelita.

"Medusa sialan," desis Syahdan keki.

Setelah menempuh 10 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di tempat perjanjian. Gang 30 september tak bisa dilewati mobil, jadi mereka berempat harus berjalan kaki untuk masuk.

Ketiga lelaki sudah turun dari mobil. Sesuai perjanjian, Lanita tidak diperbolehkan untuk ikut. Rama sudah mewanti-wanti sejak awal sebab orang yang akan mereka temui belum diketahui seperti apa wataknya, lebih baik jangan mengundang lebih banyak orang.

Tora menutup pintu belakang sebelah kiri. Syahdan juga menutup pintu, namun kaca jendelanya belum diturunkan. Alasannya karena ia akan mengumpati Lanita. "Diem lo sini, jagain mobil gue."

Lanita bilang, "Iya, iya. Bawel banget."

"Kalo lecet, lo yang gue gadai." Tangan Syahdan siap mengibas.

BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang