Nomor 3 Misi Pendekatan

1.4K 1.4K 167
                                        

Ruangan besar dan luas kedap suara menjadi tempat Rama duduk di sebuah kursi kayu yang sudah lama tak terpakai, bahkan nyaris reot karena dimakan rayap. Cahaya hanya muncul dari celah-celah ventilasi berbentuk persegi yang panjangnya tak lebih dari 50 cm.  Bahan-bahan bangunan perlahan keropos dimakan waktu, lantai yang diberi tehel kotor penuh pasir dan kotoran. Yang sangat melekat dari aula ini adalah sebuah aroma melati.

"Ram, tolong maafin gue," cicit lelaki kurus tinggi yang sudah babak belur dihajar. Ketika ia lemah tak berdaya, jalan satu-satunya adalah memohon pada Rama, pembebasnya. "Gue minta maaf."

Rama memainkan bola tenis yang ia lempar tangkap 15 cm ke atas. Menoleh pada Edo, lelaki di hadapannya yang memohon. Samping kanan, kiri, dan belakang lelaki itu, Edo dikepung oleh teman-temannya.

Pertama, Syahdan Ali Helderman, lelaki bermata sipit dengan bentuk wajah oval, dan hidung sedikit mancung. Kulitnya putih dari keturunan ibunya yang chinese, sedangkan tinggi badan mengikuti ayahnya yang merupakan lelaki bersuku Sunda. "Belum lebaran, jangan minta maaf mulu lo."

"Biarin dia minta maaf. Siapa tahu dia nggak dapat lebaran," celetuk Rama.

Sontak ucapan itu berhasil membuat darah Edo berdesir dan mengalir lebih cepat sampai jantungnya berdebar kencang. "Ram, gu-gue mohon ... bebasin gue. Gue nggak bakalan lakuin yang aneh-aneh."

"Omongan lo itu kayak cowok brengsek diluaran sana, palsu." Tora menceletuk. Ini yang kedua, dia lelaki berkulit putih juga, matanya minimalis dan punya senyum yang menggemaskan. Lelaki yang memiliki blasteran Belanda ini memiliki nama panjang Tora Adjimas Pranomo.

Sandi bergumam lega sembari menjambak rambut Edo ganas. "Lakik nggak lo!"

Yang barusan bicara tadi namanya Sandi Fernando Turk. Marganya mengikuti sang ayah yang merupakan anak dari mantan petinju. Dia punya hati sedikit dingin, namun bila bersama teman-temannya dia bisa hangat. Kulit Sandi berbeda dengan teman-temannya, dia sawo matang dan tinggi mencapai 168 cm.

Edo meringis, meminta ampunan pada Rama. Matanya sangat berkaca-kaca. Berada di situasi ini sangatlah tidak menyenangkan. Seolah dewa kematian sudah ada di depan matanya. Tinggal satu jentikan jari, tamat sudah riwayatnya.

"Ram ... gue janji nggak bakal ngelakuin itu lagi."

"Janji-janji terus lo kayak mau pilkada." Syahdan kembali menabok kepala Edo lalu beralih pada temannya. "Ram, gimana nih?"

"Mata dibalas mata. Gigi dibalas gigi. Menghancurkan hidup orang lain dibalas menghancurkan diri sendiri." Rama berdiri, melihat Edo yang terus memohon lalu melempar bola tenis ke badan Edo dengan kuat. Dapat Rama dengar lelaki itu meringis. "Lo harus terima apa yang udah lo lakuin."

Tora, Syahdan, dan Sandi sama-sama menoleh serta tersenyum penuh arti. Waktunya dimulai.

"Ram!" Edo beringsut maju, memeluk kaki Rama memohon ampun. "Tolong jangan bully gue, Ram! Gue ngaku salah! Gue minta maaf. Gue janji!"

Tora dan Syahdan langsung menarik Edo menjauh, tapi lelaki itu masih berpegangan pada kaki Rama. Syahdan lantas mencubit ketiak lelaki itu hingga pegangannya berhasil terlepas. Tora membantu menyeretnya menjauh dari Rama. Sedangkan Sandi menyusul di belakang, ia terlihat tengah merenggangkan jemari agar lebih luwes.

Edo sudah kepalang panik. "Lepasin gue! Rama lepasin gue! RAMAAAA!"

Rama menyunggingkan senyum miring lalu segera pergi dari aula belakang SMA Tarumanegara.

BEFORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang